BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik
atau perselisihan adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan
manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia
sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok,
organisasi, komunitas dan negara.
Permulaan
sengketa biasanya dari suatu situasi adanya konflik yang berasal dari berbagai
faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.
Pada
umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan
diselesaikan melalui jalur kekeluargaan (perdamaian/ash Sulhu), dan jalur hukum
(pengadilan/al Qadha). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat diselesaikan
melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun
bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala
konsekuensinya.
Selain
penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka
ada jalur penyelesaian perkara lain yang disebut dengan at Tahkim (arbitrase).
Jalur tahkim ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan
sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat
memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan
mempersempit persoalan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis
mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
1. Bagaimana Cara Penyelesaian
Perselisihan?
2. Bagaimana Berakhirnya Akad?
C. Tujuan masalah
Adapun tujuan
yang dapat diperoleh dari isi makalah ini antara lain:
1.
Dapat Mengetahui Cara Penyelesaian Perselisihan
2.
Dapat mengetahui Berakhirnya Akad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Perselisihan
Perselisihan dimulai ketika satu pihak merasa
dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan
ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tersebut menunjukan
perbedaan pendapat, maka terjadilah perselisihan atau sengketa. Adapun cara
atau proses penyelesaian perselisihan, yaitu sebagai berikut.
1. Ash Shulhu (Perdamaian)
a.
Pengertian
Secara
bahasa, kata ash shulhu ( الصلح ) artinya: Memutus pertengkaran / perselisihan. Secara istilah
Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan,
bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan
usaha tersebut dapat di harapkan akan berakhir perselisihan”. Dengan kata lain,
sebagai mana yang di ungkapkan oleh Wahbah Zulhaily shulhu adalah ”akad untuk
mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau perselisihan”.[1]
b.
Dasar Hukum Ash Shulhu
Perdamaian (al- shulh)
disyari’atkan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang dalam Al- Qur’an (Qs.
Al Hujurat : 10).
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.”
Sedangkan Umar r.a. (salah seorang dari Khulafaurrasyidin)
di dalam suatu peristiwa pernah mengungkapkan:
“Tolaklah permusuhan
hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
mengembangkan kedengkian diantara mereka (pihak yang bersengketa).
c. Rukun dan
Syarat Ash Shulhu
1)
Rukun Ash Shulhu
a) Mhusalih yaitu dua belah pihak yang
melakukan akad sulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
b) Mushalih ‘anhu yaitu persoalan yang
diperselisihkan
c) Mushalih bih yaitu sesuatu yang
dilakukan oelh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan
perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah
badal ash Shulhu
d) Shigat ijab kabul yang masing-masing
dilakukan oleh dua pihak yang berdamai. Seperti ucapan “aku bayar utangku
kepadamu yang berjumlah lima puluh ribu dengan seratus ribu (ucapan pihak
pertama)”. Kemudian, pihak kedua menjawab “saya terima”.
Jika
telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah pihak harus melaksanakannya.
Masing – masing pihak tidak dibenarkan untuk mengundurkan diri dengan jalan
memfasaknya kecuali di sepakati oleh kedua belah pihak.
2)
Syarat- syarat Shulhu:
a) Syarat yang berhubungan dengan Musahlih(
orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya di
nyatakan sah secara hukum. Jika tidak seperti anak kecil dan orang gila maka
tidak sah.
b) Syarat yang berhubungan dengan Musahlih
bih.
(1) Berbentuk harta yang dapat di nilai,
diserah- terimakan, dan berguna.
(2) Di ketahui secara jelas sehingga tidak
ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.
c) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih
anhu yaitu sesuatu yang di perkirakan .[2] termasuk hak manusia yang
boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak- hak Allah maka tidak
dapat bershulhu.
d.
Ketentuan – ketentuan yang terkait ash shulhu
Ash Shulh memiliki ketentuan sebagai berikut:
1)
Jika
akad perdamaian dibuat dengan materi yang berupa pengakuan atas harta yang di
sengketakan, perdamain itu diakui sebagai kepemilikan.
2)
Jika
seluruh atau sebagian dari penggantian objek perdamaian diambil dari seseorang
yang berhak atas penggantian itu, penggantian objek perdamaian berupa barang
yang di gugat dari perdamaian itu, yakni bisa seluruhnya atau sebagiannya,
dinyatakan sah.
3)
Jika
akad perdamaian dibuat dengan pengakuan tentang mamfaat suatu harta, hukum akad
perdamaian itu adalah sama dengan hukum akad ijarah.
4)
Suatu
perdamaian dengan cara penolakan atau bersikap diam saja, dengan demikian
penggugat berhak atas harta penggantinya, sedangkan tergugat berhak untuk tidak
melakukan sumpah dan selesainya sengketa.
5)
Hak
syuf’ah (hak untuk d dahulukan/preference) yang melekat pada suatu benda tidak
bergerak berlaku sebagai pengganti objek perdamaian.
6)
Jika
seseorang yang berhak atas harta itu lalu mengambil sebagian atau seluruh benda
tidak bergerak itu, penggugat harus mengembalikan sejumlah pengganti perdamaian
itu kepada tergugat seluruhnya atau sebagian, dan penggugat itu berhak
mengajukan gugatan itu kepada orang yang menuntut dan yang punya hak tersebut.
7)
Jika
seluruah atau sebagian dari pengganti kerugian itu di ambil oleh penggugat,
penggugat berhak mengajukan gugatan atas penggantian perdamaian.
8)
Jika
pihak penggugat berkeinginan memperoleh kembali hartanya, dan menyetujui suatu
perdamaian untuk mendapat sebagian daripadanya, serta membebaskan tergugat dari
sisa perkara yang di ajukan, penggugat dianggap telah menerima pembayaran
sebagian dari tuntutannya dan membebaskan sisanya.
9)
Jika
seseorang melaksanakan suatu perdamaian dengan orang lain tentang sebagian dari
tuntutannya kepada orang itu, orang yang melaksanakan perdamaian itu dianggap
telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan telah melepaskan haknya
terhadap sisanya.
10) Jika seseorang melakukan suatu
perdamaian dengan suatu utang yang segera harus dibayar, diubah menjadi utang
yang dapat dibayarkan kembali pada kemudian hari, ia dianggap telah melepaskan
haknya pembayaran segera.[3]
e.
Berakhirnya Ash Shulhu
Adapun berakhirnya shulhu ini ada dengan dua cara yaitu:
1)
Ibra:
membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.
2)
Mufadhah:
penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan (shulhu hibah), menjual (shulhu
bai’), atau menyewakan (shulhu ijarah) sebagian barang yang dituntut oleh
penggugat.
2.
At- Tahkim (arbitrase)
a.
pengertian
Istilah
arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Definisi secara
terminologi dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah
perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian,
di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang
dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak
memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi
kedua belah pihak.[4]
Dalam cara arbitrase (tahkim), para pihak yang bersengketa menunjuk perwakilan
mereka masing-masing (hakam), untuk menyelesaikan sengketa mereka.
b.
Dasar
Hukum Tahkim
Dasar
hukum bagi tahkim, ialah firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 35.
Artinya: ”Jika
kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang
Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
QS.
Al-Hujurat: 9
Dan apabila ada dua golongan orang
mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari
keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.( Q.S. Al-Hujurat Ayat 9)
Diriwayatkan
oleh An Nasa’y bawhwa Abu syuriah menenangkan kepada Rasulullah saw. Bahwa
kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka datang kepadanya dan
diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak
mendengar itu Nabi pun berkata: Alangkah baiknya!
Rasulullah
saw, sendiri telah pernah menerima putusan sa’ad ibnu mu’adz mengenai bani
Quraidhah.Demikian juga pertengkaran antara umar dengan ubay bin ka’ab tentang
suatu suatu kebun kurma,perkaranya ditahkimkan oleh zaid bin tsabit.semua
sahabat sepakat menerima putusan hakim dan membenarkan tahkim ini.[5]
Ini semuanya menunjukkan, bahwa islam membenarkan lembaga tahkim ini. Di tinjau
dari segi akal, dapat pula kita terima
tahkim ini karena orang-orang yang menyerahkan perkara kepada hakim mempunyai
wewenang terhadap dirinya sendiri.
c. Fungsi
Tahkim (Arbitrase)
Tahkim atau Arbitrase merupakan salah satu mekanismenya yang didasarkan
kepada kesepakatan bersama, yang dapat dijadikan alat perdamaian untuk
menyelesaikan suatu sengketa yang timbul pada masa kini dan masa mendatang.
Arbitrase berfungsi sebagai salah satu
Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi
penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan perselisihan atau
sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau
islah.
Peranan
Arbiter dalam penyelesaian sengketa adalah sama dengan peranan hakim pada
pengadilan negeri, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara/sengketa
yang diajukan kepadanya.
d.
Kekuatan
Putusan dalam Tahkim (Arbitrase)
Sifat dan
bentuk dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga tahkim lebih
cenderung memilih cara kekeluargaan dan perdamaian. Dalam surah An-Nisa ayat
127 ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih baik”. Mengajak berdamai berarti
mengajak kepada suatu kebaikan. Model penyelesaian perkara seperti itu sudah
menjadi komitmen para sahabat. Misalnya Umar Ibn Khathab, dalam setiap
menyelesaikan perkara senantiasa selalu mengingatkan untuk mengutamakan “jalan
damai”.
Dalam satu dustur Risalat
al-qadha ditegaskan: “perdamaian adalah boleh diantara umat islam, kecuali
perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang
halal. Ajaklah orang-orang yang berselisih itu hingga damai[6]”.
Dalam kaitan itu, terdapat ungkapan yang menggambarkan tentang tingginya nilai
perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-ahkam.
Apabila cara
pemdekatan dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu senantiasa ditawarkan
dan menjadi model lembaga tahkim dalam menyelesaikan sengketa maka tidak akan
terlihat adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang dapat mewariskan karat
dihati, iri dengki, dendam kesumat, kebencian dan permusuhan diatara mereka.
Semua pihak sama-sama menjadi pihak yang menang karena diputuskan melalui
kesepakatan para pihak secara bersama-sama. Dengan demikian, putusan lembaga
arbitrase tampak lebih berasahabat, yang dapat menentramkan dan menyejukan hati
para pihak.
Berbeda dengan
produk peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya paksa (fiat eksekusi),
maka kekuatan produk lembaga tahkim itu menjadi isu perdebatan. Namun demikian,
kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut imam Hanafi, pengikut Imam
Hambali, Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari pengikut Imam Syafi’i)
menganggap bahwa putusan lembaga tahkim secara langsung adalah mengikat kepada
para pihak. Pengikatan itu sendiri telah terjadi ketika para pihak memilih dan
mengangkat kuasa tahkim sebagai juru penengah untuk menyelesaikan sengketa
mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil pengikut Imam Syafi’i, produk lembaga
tahkim itu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali apabila
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para pihak, shingga dalam
pelaksanaannya lebih mendasar pada kerelaan hati dan kesadaran hukum para
pihak.
Keputusan hakam tidak sama dengan
keputusan qodhi (hakim). Putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan
orang yang bersangkutan,menurut ahmad dan abu hanifah dan menurut suatu riwayat
dari asyafi’y. Tetapi menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh
hakam itu tidak harus di turuti oleh yang bersangkutan. apabila seorang hakam
telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lagi mengajukan perkaranya
kepada hakam lain, lalu hakam yanglain ini memberikan putsan pula dengan tidak
mengetahui adanya putusan yang pertma dan putusanya itu berlawanan dengan
putusan yang pertama,maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim,hendaklah
hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.Apabila suatu perkara
sudah diputuskan oleh seseorang hakam kemudian diajukan kepada hakim,maka hakim
boleh membenarkan putuan hakam itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusanya
itu jika berlawanan dengan mazhbanya. [7]
e. Klasifikasi Tahkim (Arbitrase)
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi
menjadi tiga jenis diantaranya adalah:[8]
1)
Arbitrase
Nasional (umum)
Arbitrase
nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk
menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan
tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau
memiliki sebuah lembaga arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. BANI
dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak dan tunduk pada Hukum
Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat pada tanggal 3 Desember 1977 yang
bergerak di bidang komersial meliputi bidang perdata, perdagangan, industri,
keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R. Subekti (Ketua MA), H. Priyatna,
Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Suswanto Sukendar
(Ketua KADIN).
2)
Arbitrase
khusus
Arbitrase
khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang
tertentu seperti bidang ekonomi syariah atau keuangan, industri, olahraga
dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang
menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan
ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,
reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria,
bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah
badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian
berdasarkan keputusan MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember
2003 BAMUI resmi dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)
yang merupakan badan yang berada dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak
dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua
Pengadilan Agama.
3)
Arbitrase
internasional
Arbitrase untuk
menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada
hukum internasdional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase
di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidak pastian yang
berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional.
Contoh
penggunaan arbitrase internasioanl adalah kasus kontrak antara pemertintah RI
dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisiahan mengenai
kontrak tersebut, pemerintah meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik
tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan one prestasi.
3.
Melalui Lembaga Peradilan (al- qadha)
a.
Pengertian
Pengertian
al-Qadha’ (peradilan) menurut bahasa adalah menyelesaikan, menetapkan,
menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan
memutuskan sesuatu. Sedangkan pengertian Al-qadha’ dari segi istilah ahli fiqh
adalah lembaga hukum juga bisa dikatakan perkataan yang harus dituruti yang di
ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau berarti menghindarkan
masalah dari pihak-pihak yang bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di
antara mereka, dengan menggunakan hukum Allah. Yakni, mengaplikasikan ketentuan
syariat dalam kehidupan nyata. Orang yang melakukannya disebut qadhi.
b.
Dasar
Hukum al-Qadha
Dalil atau dasar hukum
yang mewajibkan adanya sebuah lembaga peradilan banyak kita temuai dalam
Al-qur’an antara lain:
Artinya: “Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al maidah: 49).
Beberapa buah Hadits, antara lain hadits Shahihain (Imam
Bukhari dan Imam Muslim), mengatakan :
“Apabila
seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara), lalu ia berijtihad (dengan
segenap kemampuannya), kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua
pahala. Apabila dia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka
baginya hanya satu pahala”.
c. Rukun dan syarat al-Qadha
1) Rukun
Qadha
Sebagian
ulama fiqh membagi rukun fiqh menjadi 5 yaitu:
a) Hakim,
yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwa – dakwaan dan
persengketaan.
b) Hukum,
yaitu keputusan qadhi untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan
persengketaan.
c) Al-Mahkum bih, hak
d) Al-Mahkum ‘alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya
e) Al-Mahkum lah¸ yaitu penggugaat suatu hak yang
merupakanhak manusia semata mata (hak perdata).
Dari rukun diatas dapat disimpulkan
bahwasannya pengadilan atau qadha sebenarnya berkaitan dengan kasus yaitu
terjadinya suatu sengketa antara satu pihak dengan pihak yang lain disertai
adanya dakwaan yang benar.[9]
2) Syarat
syarat Qadhi[10]
a) Islam
b) Berakal
(sehat pikiran, cerdas dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan
kecerdasannya itu)
c) Adil,
yaitu benar dalam pembicaraan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari
segala hal yang dilarang, jujur dalam keadaan marah atau duka.
d) Berpengetahuan
mengenai pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya serta dapat membedakan
yang hak dari yang batil.
e) Sehat
pendengaran, penglihatan, dan ucapan.
4. Lembaga-Lembaga Peradilan (Al-Qadha’)
Dalam
Islam, Islam dikenal dengan dua lembaga peradilan yang menangani masalah yang
terjadi, lembaga tersebut adalah:[11]
a. Wilayah Madzalim
Wilayah Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang
pengadilan yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.
Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim
biasa. Lembaga ini memeriksa penganiayaan/pelanggaran yang dilakukan oleh
pengusa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa.
Wilayah Madzalim juga di artikan adalah memberikan keputusan terhadap perkara
sengketa yang terjadi antara rakyat dengan khalifah (atau pejabat pemerintahan
lain-nya). Al-Mawardi di dalam al-Ahkam Sulthaniyah menerangkan bahwa
perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada sepuluh macam.
1) Penganiayaan para penguasa, baik
terhadap individu atau pun golongan.
2) Kecurangan pegawai-pegawai yang
ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta kekayaan lain.
3) Pengawasan keadaan pejabat.
4) Pengaduan oleh tentara yang digaji
lantaran gaji mereka dikurangi atau dilambatkan.
5) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta
mereka yang dirampas oleh penguasa yang lazim.
6) Memperhatikan harta-harta wakaf.
7) Melaksanakan putusan hakim yang tidak
dapat dilaksanakan oleh hakim sendiri, lantaran orang-orang yang dijatuhakn
hukuman atasnya adlah orang-orang yang tinggal derajatnya.
8) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara
mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan petugas hisbah.
9) Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadah
yang nyata seperti jum’at, hari raya, haji, dan jihad, dan.
10) Menyelesaikan perkara yang telah menjadi
sengketa diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini dilengkapi
dengan petugaspetugas pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap
seseorang yang mengembangkan dalam pemeriksaan. Lembaga ini dilengkapi pula
dengan hakim-hakim yang pandai untuk dimintai pendapat tentang jalannya pemeriksaan.
Dilengkapi pula oleh ahli-ahli fiqih dan panitera yang mencatat segala
keterangan yang diberikan masing-masing pihak.
Lembaga yang berfungsi menerima dan menyelesaikan
pengaduan rakyat atas tindakan penguasa ini, dalam sejarahnya telah berlangsung
lama. Lembaga ini terkenal di kalangan bangsa Persia dan bangsa Arab. Di masa
Nabi saw, Nabi sendiri yang menerima pengaduan dari rakyat. Di masa Khulafaur
Rasyidin, lembaga ini belum dikembangkan mengingat sengketasengketa dapat
diselesaikan di pengadilan biasa dan rakyat pun masih sangat kuat dipengaruhi
ajaran agama.
Di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan-lah
disediakan waktu untuk menerima pengaduan rakyat tentang para pejabat. Itu
terus berlanjut hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal tegas
dalam memerangi kezaliman pejabat dan juga di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan
selanjutnya.
b. Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk kedalam
bidang amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas ini merupakan tugas fardhu yang harus
dilaksanakan oleh penguasa. Oleh karenanya, penguasa harus mengangkat
orang-orang yang dipandang cakap untuk tugas ini.
Tugas lembaga Hisbah ini adalah memberi bantuan
kepada orangorang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari
petugaspetugas hisbah. Tugas lainnya, jika dikaitkan dengan tugas hakim adalah
mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang
tidak boleh dilanggar oleh seorang pun.Terkadang muhtasib ini memberikan
putusan-putusan dalam hal yang perlu segera diselesaika. Menurut ash-Shiddiqie.
Kedudukan lembaga ini dibawah lembaga peradilan.
Menurut sejarah, di masa Nabi saw, pernah diangkat
petugas yang secara khusus menjadi pengawas bagi pasar Mekah untuk mencegah
kecurangan –kecurangan yang dilakukan. Khalifah yang pertama menyusun aturan
hisbah ini adalah Umar bin Khaththab. Akan tetapi, badan ini baru terkenal di
masa al-Mahdi (158-169 H).
Orang-orang yang diangkat menjadi muhtasib ini
haruslah orangorang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukuk-hukum
agama. Meski demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa muhtasib harus
seorang mujtahid, tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan munkar yang
disetujui ulama.
B. Berakhirnya
Akad
Akad akan berakhir, jika dipenuhi
hal-hal berikut:
1.
Berakhirnya Masa Berlaku Akad
Biasanya
dalam suatu perjanjian telah ditentukkan saat kapan perjanjian telah
ditentukkan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan
lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir., kecuali
kemudian ditentukkan lain oleh para pihak. [12]
Dasar
hukum tentang hal ini dapat dilihat dalam Qs At Taubah ayat (9):4
“ Kecuali orang orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi
perjanjian) mu dan tidka (pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu.
Maka terhadap mereka itu penuhillah janjinya smapai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”
2.
Dibatalkan oleh pihak yang berakad atau terjadinya
pembatalan atau pemutusan akad
Hal
ini biasanya terjadi jika slah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian atau
salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur
kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian, maupun
mengenai orangnya.
Pembolehan
untuk membatalkan perjnajian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain
menyimpang daria apa yang diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan Al
Quran di antaranya Qs At Taubah (9): 7
“Bagimana bisa ada
perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin,
kecuali orang-orang yang kamu telah mengadkaan perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidilharam ?. maka selam mereka berlaku lurus terhadapmu. Hendaklah
kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”
Selain
itu pembatalan/pemutusan akad dapat terjadi dengan sebab-sebab berikut: [13]
a.
Adanya
hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti terdapat kerusakan dlaam akad
(fasad al-‘aqd). Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi kejelasan
(juhalah) dan tertentu waktunya (mu’aqqat)
b.
Adanya
khiyar, baik khiyar rukyah, khiyar ‘aib, khiyar syarat, atau khiyar majelis
c.
Adanya
penyelesaian dari salah satu pihak (iqalah). Salah satu pihak yang berakad
dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang
barus aja dilakukan. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi saw riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah yang mengajarkan bahwa barang siapa mengabulkan permintaan
pembatlaan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan
menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak (man aqaala naadiman
bai’atahu aqallallahu ‘atsaratuhu yaumal qiyamah).
Qs
At Taubah ayat 12
“Jika mereka merusak
sumaph (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu. Maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka
berhenti.
Qs At Taubah ayat 13:
”Mengapakah kamu tidak
memerangi orang-orang yang meruska sumapah (janjinya), padahal mereka telah
keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama muali
memerangi kamu ?. mengapakaha kamu takut kepada mereka padahal Allah lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman”
3.
Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia
Hal
ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya
kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu.
Katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku abgi ahli
warisnya. Sebagai contohnya ketiak orang membuat perja njian pinjam uang.
Kemudian meninggal dunia maka kewajiban untuk mengembalikkan utang menjadi
kewajiban ahli waris.
4.
Jika ada kelancangan dan bukti penghianatan
(penipuan)[14]
Jika
dalam suatu perjanjian terbukti adnaya penipuan, maka akad tersebut dapat
dibatalkan oleh pihak yang tertipu. Hal ini beradsarkan firman Allah swt. Qs
Al- Anfal (8):58
“ Dan jika kamu
khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan. Maka
kembalikannlah perjnajian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat tiga
cara/proses penyelesaian perselisihan, yaitu:
1. perdamaian (ash Sulhu), yaitu suatu
usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam,
dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di
harapkan akan berakhir perselisihan.
2. Arbitrase (at Tahkim), yaitu suatu
peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili
oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Terdapat tiga jenis arbitrase,
yaitu arbitrase nasional (umum), khusus, dan internasional.
3. Peradilan (Al Qadha), yaitu lembaga
hukum juga bisa dikatakan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh
seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau berarti menghindarkan masalah dari
pihak-pihak yang bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka,
dengan menggunakan hukum Allah. Terdapat dua lembaga peradilan, yaitu Wilayah
madzalim dan wilayah hisbah.
Adapun penyebab berakhirnya
akad, yaitu Berakhirnya Masa Berlaku
Akad; Dibatalkan oleh pihak yang
berakad atau terjadinya pembatalan atau pemutusan akad; Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.;
Jika ada kelancangan dan bukti
penghianatan (penipuan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Ghafur Anshari. 2010. hukum perikatan di
indoensia. Yogyakarta: UGM
PRESS.
Abdul Qadim
Zullum. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Al-Izzah.
Ahmad,
Ifham Sholihin. 2010. Buku Pintar Ekonomi
Syariah. Gramedia Pustaka Utama.
Arifin, Zaenal. 2008 Arbitrase
Dalam Perspektif Hukum Islam. Dimuat dalam Majalah Himmah Vol. VII
Djalil, Basiq.2012.
Peradilan Islam. Jakarta: Amzah.
Chairuman
Pasaribu dan Suahwirdhi K Lubis. 2010. Hukum Perjanjian dalam Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Djamil,
Fatturahman. 2012. Penerapan Hukum
Perajnajin dalam Transaksi di Lemabaga Keuangan Syariah.
Ghazaly
Abdul Rahman, Ihsan Ghufron, Shidiq Sapiudin. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Hasbi Ash Shiddieqi.
1994. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: PT Ma’arif.
K.
Lubis, Pasaribu Suhrawardi. 1994. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Poerwosutjipto,
H.M.N. 1992. Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran. Jakarta: Djambatan.
Wirawan. 2010. Konflik
Dan Manajemen Konflik. Jakarta: Salemba Humanika
Zuhaly,
Wahbah. 2005. al- Fiqih al – Islami wa
Adillatuhu, Beirut: Dar al- Fikr al- Muashir.
[1] Wahbah Zuhaily, al- Fiqih al – Islami wa Adillatuhu, Beirut:
Dar al- Fikr al- Muashir, 2005, jilid IV, hlm. 4330
[2] Ghazaly Abdul Rahman,M.A. Prof. Dr. H, Ihsan
Ghufron M.A. Drs. H, Shidiq Sapiudin, M.A. Drs. Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010. Hlm.
197.
[3] Ifham Sholihin Ahmad, Buku
Pintar Ekonomi Syariah, 2010, Gramedia Pustaka Utama, hlm.408.
[4] H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok
Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta:
Djambatan, 1992), hlm.1.
[5] Al-Mabsuth XXI : 62
[7] TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal :
85
[10] Ibid, hlm. 54-59
[13] Fatturahman Djamil, Penerapan Hukum Perajnajin dalam Transaksi
di Lemabaga Keuangan Syariah 2012 ,hal
59
[14] Chairuman Pasaribu dan
Suahwirdhi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hal 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar