Selasa, 17 Januari 2017

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Konflik atau perselisihan adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok, organisasi, komunitas dan negara.
Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi adanya konflik yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.
Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan  diselesaikan melalui jalur kekeluargaan (perdamaian/ash Sulhu), dan jalur hukum (pengadilan/al Qadha). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka ada jalur penyelesaian perkara lain yang disebut dengan at Tahkim (arbitrase). Jalur tahkim ini  biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit persoalan tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.      Bagaimana Cara Penyelesaian Perselisihan?
2.      Bagaimana Berakhirnya Akad?
C.     Tujuan masalah
Adapun tujuan yang dapat diperoleh dari isi makalah ini antara lain:
1.      Dapat Mengetahui Cara Penyelesaian Perselisihan
2.      Dapat mengetahui Berakhirnya Akad



 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penyelesaian Perselisihan
Perselisihan dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tersebut menunjukan perbedaan pendapat, maka terjadilah perselisihan atau sengketa. Adapun cara atau proses penyelesaian perselisihan, yaitu sebagai berikut.
1.      Ash Shulhu (Perdamaian)
a.       Pengertian
Secara bahasa, kata ash shulhu ( الصلح ) artinya: Memutus pertengkaran / perselisihan. Secara istilah Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di harapkan akan berakhir perselisihan”. Dengan kata lain, sebagai mana yang di ungkapkan oleh Wahbah Zulhaily shulhu adalah ”akad untuk mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau perselisihan”.[1]
b.      Dasar Hukum Ash Shulhu
Perdamaian (al- shulh) disyari’atkan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang dalam Al- Qur’an (Qs. Al Hujurat : 10).
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\49_15.png
 “Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
            Sedangkan Umar r.a. (salah seorang dari Khulafaurrasyidin) di dalam suatu peristiwa pernah mengungkapkan:
“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka (pihak yang bersengketa).
c.       Rukun dan Syarat Ash Shulhu
1)      Rukun Ash Shulhu
a)      Mhusalih yaitu dua belah pihak yang melakukan akad sulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
b)      Mushalih ‘anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan
c)      Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oelh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah  badal ash Shulhu
d)     Shigat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai. Seperti ucapan “aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah lima puluh ribu dengan seratus ribu (ucapan pihak pertama)”. Kemudian, pihak kedua menjawab “saya terima”.
Jika telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah pihak harus melaksanakannya. Masing – masing pihak tidak dibenarkan untuk mengundurkan diri dengan jalan memfasaknya kecuali di sepakati oleh kedua belah pihak.

2)      Syarat- syarat Shulhu:
a)      Syarat yang berhubungan dengan Musahlih( orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya di nyatakan sah secara hukum. Jika tidak seperti anak kecil dan orang gila maka tidak sah.
b)      Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.
(1)   Berbentuk harta yang dapat di nilai, diserah- terimakan, dan berguna.
(2)   Di ketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.
c)      Syarat yang berhubungan dengan Mushalih anhu yaitu sesuatu yang di perkirakan .[2] termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak- hak Allah maka tidak dapat bershulhu.
d.      Ketentuan – ketentuan yang terkait ash shulhu
Ash Shulh memiliki ketentuan sebagai berikut:
1)      Jika akad perdamaian dibuat dengan materi yang berupa pengakuan atas harta yang di sengketakan, perdamain itu diakui sebagai kepemilikan.
2)      Jika seluruh atau sebagian dari penggantian objek perdamaian diambil dari seseorang yang berhak atas penggantian itu, penggantian objek perdamaian berupa barang yang di gugat dari perdamaian itu, yakni bisa seluruhnya atau sebagiannya, dinyatakan sah.
3)      Jika akad perdamaian dibuat dengan pengakuan tentang mamfaat suatu harta, hukum akad perdamaian itu adalah sama dengan hukum akad ijarah.
4)      Suatu perdamaian dengan cara penolakan atau bersikap diam saja, dengan demikian penggugat berhak atas harta penggantinya, sedangkan tergugat berhak untuk tidak melakukan sumpah dan selesainya sengketa.
5)      Hak syuf’ah (hak untuk d dahulukan/preference) yang melekat pada suatu benda tidak bergerak berlaku sebagai pengganti objek perdamaian.
6)      Jika seseorang yang berhak atas harta itu lalu mengambil sebagian atau seluruh benda tidak bergerak itu, penggugat harus mengembalikan sejumlah pengganti perdamaian itu kepada tergugat seluruhnya atau sebagian, dan penggugat itu berhak mengajukan gugatan itu kepada orang yang menuntut dan yang punya hak tersebut.
7)      Jika seluruah atau sebagian dari pengganti kerugian itu di ambil oleh penggugat, penggugat berhak mengajukan gugatan atas penggantian perdamaian.
8)      Jika pihak penggugat berkeinginan memperoleh kembali hartanya, dan menyetujui suatu perdamaian untuk mendapat sebagian daripadanya, serta membebaskan tergugat dari sisa perkara yang di ajukan, penggugat dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan membebaskan sisanya.
9)      Jika seseorang melaksanakan suatu perdamaian dengan orang lain tentang sebagian dari tuntutannya kepada orang itu, orang yang melaksanakan perdamaian itu dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan telah melepaskan haknya terhadap sisanya.
10)  Jika seseorang melakukan suatu perdamaian dengan suatu utang yang segera harus dibayar, diubah menjadi utang yang dapat dibayarkan kembali pada kemudian hari, ia dianggap telah melepaskan haknya pembayaran segera.[3]
e.       Berakhirnya Ash Shulhu
Adapun berakhirnya shulhu ini ada dengan dua cara yaitu:
1)      Ibra: membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.
2)      Mufadhah: penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan (shulhu hibah), menjual (shulhu bai’), atau menyewakan (shulhu ijarah) sebagian barang yang dituntut oleh penggugat.
2.      At- Tahkim (arbitrase)
a.       pengertian
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Definisi secara terminologi dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.[4] Dalam cara arbitrase (tahkim), para pihak yang bersengketa menunjuk perwakilan mereka masing-masing (hakam), untuk menyelesaikan sengketa mereka.
b.      Dasar Hukum Tahkim
Dasar hukum bagi tahkim, ialah firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 35.
Description: http://www.theonlyquran.com/quran_text/4_35.png
Artinya: ”Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
QS. Al-Hujurat: 9
Description: http://www.theonlyquran.com/quran_text/49_9.png
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.( Q.S. Al-Hujurat Ayat 9)
Diriwayatkan oleh An Nasa’y bawhwa Abu syuriah menenangkan kepada Rasulullah saw. Bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka datang kepadanya dan diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak mendengar itu Nabi pun berkata: Alangkah baiknya!
Rasulullah saw, sendiri telah pernah menerima putusan sa’ad ibnu mu’adz mengenai bani Quraidhah.Demikian juga pertengkaran antara umar dengan ubay bin ka’ab tentang suatu suatu kebun kurma,perkaranya ditahkimkan oleh zaid bin tsabit.semua sahabat sepakat menerima putusan hakim dan membenarkan tahkim ini.[5] Ini semuanya menunjukkan, bahwa islam membenarkan lembaga tahkim ini. Di tinjau dari segi akal, dapat pula kita  terima tahkim ini karena orang-orang yang menyerahkan perkara kepada hakim mempunyai wewenang terhadap dirinya sendiri.
c.       Fungsi Tahkim (Arbitrase)
Tahkim atau Arbitrase merupakan salah satu mekanismenya yang didasarkan kepada kesepakatan bersama, yang dapat dijadikan alat perdamaian untuk menyelesaikan suatu sengketa yang timbul pada masa kini dan masa mendatang.
Arbitrase berfungsi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau  islah.
Peranan Arbiter dalam penyelesaian sengketa adalah sama dengan peranan hakim pada pengadilan negeri, yaitu memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara/sengketa yang diajukan kepadanya.
d.      Kekuatan Putusan dalam Tahkim (Arbitrase)
Sifat dan bentuk dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga tahkim lebih cenderung memilih cara kekeluargaan dan perdamaian. Dalam surah An-Nisa ayat 127 ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih baik”. Mengajak berdamai berarti mengajak kepada suatu kebaikan. Model penyelesaian perkara seperti itu sudah menjadi komitmen para sahabat. Misalnya Umar Ibn Khathab, dalam setiap menyelesaikan perkara senantiasa selalu mengingatkan untuk mengutamakan “jalan damai”.
Dalam satu dustur Risalat al-qadha ditegaskan: “perdamaian adalah boleh diantara umat islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. Ajaklah orang-orang yang berselisih itu hingga damai[6]”. Dalam kaitan itu, terdapat ungkapan yang menggambarkan tentang tingginya nilai perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-ahkam.
Apabila cara pemdekatan dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu senantiasa ditawarkan dan menjadi model lembaga tahkim dalam menyelesaikan sengketa maka tidak akan terlihat adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang dapat mewariskan karat dihati, iri dengki, dendam kesumat, kebencian dan permusuhan diatara mereka. Semua pihak sama-sama menjadi pihak yang menang karena diputuskan melalui kesepakatan para pihak secara bersama-sama. Dengan demikian, putusan lembaga arbitrase tampak lebih berasahabat, yang dapat menentramkan dan menyejukan hati para pihak.
Berbeda dengan produk peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya paksa (fiat eksekusi), maka kekuatan produk lembaga tahkim itu menjadi isu perdebatan. Namun demikian, kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut imam Hanafi, pengikut Imam Hambali, Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari pengikut Imam Syafi’i) menganggap bahwa putusan lembaga tahkim secara langsung adalah mengikat kepada para pihak. Pengikatan itu sendiri telah terjadi ketika para pihak memilih dan mengangkat kuasa tahkim sebagai juru penengah untuk menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil pengikut Imam Syafi’i, produk lembaga tahkim itu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali apabila mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para pihak, shingga dalam pelaksanaannya lebih mendasar pada kerelaan hati dan kesadaran hukum para pihak.
            Keputusan hakam tidak sama dengan keputusan qodhi (hakim). Putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan orang yang bersangkutan,menurut ahmad dan abu hanifah dan menurut suatu riwayat dari asyafi’y. Tetapi menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus di turuti oleh yang bersangkutan. apabila seorang hakam telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lagi mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yanglain ini memberikan putsan pula dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertma dan putusanya itu berlawanan dengan putusan yang pertama,maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim,hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seseorang hakam kemudian diajukan kepada hakim,maka hakim boleh membenarkan putuan hakam itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusanya itu jika berlawanan dengan mazhbanya. [7]
e.       Klasifikasi Tahkim (Arbitrase)
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis diantaranya adalah:[8]
1)      Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah  lembaga arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. BANI dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak dan tunduk pada Hukum Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat pada tanggal 3 Desember 1977 yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang perdata, perdagangan, industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R. Subekti (Ketua MA), H. Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Suswanto Sukendar (Ketua KADIN).
2)      Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang ekonomi syariah  atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria, bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Agama.
3)      Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasdional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidak pastian yang berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional.
Contoh penggunaan arbitrase internasioanl adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisiahan mengenai kontrak tersebut, pemerintah meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan one prestasi.
3.      Melalui Lembaga Peradilan (al- qadha)
a.       Pengertian
Pengertian al-Qadha’ (peradilan) menurut bahasa adalah menyelesaikan, menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan pengertian Al-qadha’ dari segi istilah ahli fiqh adalah lembaga hukum juga bisa dikatakan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau berarti menghindarkan masalah dari pihak-pihak yang bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka, dengan menggunakan hukum Allah. Yakni, mengaplikasikan ketentuan syariat dalam kehidupan nyata. Orang yang melakukannya disebut qadhi.
b.      Dasar Hukum al-Qadha
Dalil atau dasar hukum yang mewajibkan adanya sebuah lembaga peradilan banyak kita temuai dalam Al-qur’an antara lain:
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCWpLsSgS_iCtjKFH4n4pHbS3BlXEXr_W5K-vWE7eWdSOU-V357z4g917pmqP76P0IKcSMw0kifuwVmLIjLt9OwErXk_SbI-icWuFXfWV0PguS4xHOcfSWroe-OM_2wPfnXjpgQcpNJbA/s1600/5_49.png
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al maidah: 49).
Beberapa buah Hadits, antara lain hadits Shahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), mengatakan :
“Apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara), lalu ia berijtihad (dengan segenap kemampuannya), kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Apabila dia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka baginya hanya satu pahala”.
c.       Rukun dan syarat al-Qadha
1)      Rukun Qadha
Sebagian ulama fiqh membagi rukun fiqh menjadi 5 yaitu:
a)      Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwa – dakwaan dan persengketaan.
b)      Hukum, yaitu keputusan qadhi untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan.
c)       Al-Mahkum bih, hak
d)      Al-Mahkumalaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya
e)      Al-Mahkum lah¸ yaitu penggugaat suatu hak yang merupakanhak manusia semata mata (hak perdata).
Dari rukun diatas dapat disimpulkan bahwasannya pengadilan atau qadha sebenarnya berkaitan dengan kasus yaitu terjadinya suatu sengketa antara satu pihak dengan pihak yang lain disertai adanya dakwaan yang benar.[9]
2)      Syarat syarat Qadhi[10]
a)      Islam
b)      Berakal (sehat pikiran, cerdas dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan kecerdasannya itu)
c)      Adil, yaitu benar dalam pembicaraan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala hal yang dilarang, jujur dalam keadaan marah atau duka.
d)     Berpengetahuan mengenai pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya serta dapat membedakan yang hak dari yang batil.
e)      Sehat pendengaran, penglihatan, dan ucapan.
4.      Lembaga-Lembaga Peradilan (Al-Qadha’)
Dalam Islam, Islam dikenal dengan dua lembaga peradilan yang menangani masalah yang terjadi, lembaga tersebut adalah:[11]
a.       Wilayah Madzalim
Wilayah Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa penganiayaan/pelanggaran yang dilakukan oleh pengusa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Wilayah Madzalim juga di artikan adalah memberikan keputusan terhadap perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan khalifah (atau pejabat pemerintahan lain-nya). Al-Mawardi di dalam al-Ahkam Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada sepuluh macam.
1)      Penganiayaan para penguasa, baik terhadap individu atau pun golongan.
2)      Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta kekayaan lain.
3)      Pengawasan keadaan pejabat.
4)      Pengaduan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi atau dilambatkan.
5)      Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa yang lazim.
6)      Memperhatikan harta-harta wakaf.
7)      Melaksanakan putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim sendiri, lantaran orang-orang yang dijatuhakn hukuman atasnya adlah orang-orang yang tinggal derajatnya.
8)      Meneliti dan memeriksa perkara-perkara mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan petugas hisbah.
9)      Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadah yang nyata seperti jum’at, hari raya, haji, dan jihad, dan.
10)  Menyelesaikan perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini dilengkapi dengan petugaspetugas pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang mengembangkan dalam pemeriksaan. Lembaga ini dilengkapi pula dengan hakim-hakim yang pandai untuk dimintai pendapat tentang jalannya pemeriksaan. Dilengkapi pula oleh ahli-ahli fiqih dan panitera yang mencatat segala keterangan yang diberikan masing-masing pihak.
Lembaga yang berfungsi menerima dan menyelesaikan pengaduan rakyat atas tindakan penguasa ini, dalam sejarahnya telah berlangsung lama. Lembaga ini terkenal di kalangan bangsa Persia dan bangsa Arab. Di masa Nabi saw, Nabi sendiri yang menerima pengaduan dari rakyat. Di masa Khulafaur Rasyidin, lembaga ini belum dikembangkan mengingat sengketasengketa dapat diselesaikan di pengadilan biasa dan rakyat pun masih sangat kuat dipengaruhi ajaran agama.
Di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan-lah disediakan waktu untuk menerima pengaduan rakyat tentang para pejabat. Itu terus berlanjut hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal tegas dalam memerangi kezaliman pejabat dan juga di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan selanjutnya.
b.      Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk kedalam bidang amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas ini merupakan tugas fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Oleh karenanya, penguasa harus mengangkat orang-orang yang dipandang cakap untuk tugas ini.
Tugas lembaga Hisbah ini adalah memberi bantuan kepada orangorang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugaspetugas hisbah. Tugas lainnya, jika dikaitkan dengan tugas hakim adalah mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pun.Terkadang muhtasib ini memberikan putusan-putusan dalam hal yang perlu segera diselesaika. Menurut ash-Shiddiqie. Kedudukan lembaga ini dibawah lembaga peradilan.
Menurut sejarah, di masa Nabi saw, pernah diangkat petugas yang secara khusus menjadi pengawas bagi pasar Mekah untuk mencegah kecurangan –kecurangan yang dilakukan. Khalifah yang pertama menyusun aturan hisbah ini adalah Umar bin Khaththab. Akan tetapi, badan ini baru terkenal di masa al-Mahdi (158-169 H).
Orang-orang yang diangkat menjadi muhtasib ini haruslah orangorang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukuk-hukum agama. Meski demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa muhtasib harus seorang mujtahid, tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan munkar yang disetujui ulama.
B.     Berakhirnya Akad         
Akad akan berakhir, jika dipenuhi hal-hal berikut:
1.      Berakhirnya Masa Berlaku Akad
Biasanya dalam suatu perjanjian telah ditentukkan saat kapan perjanjian telah ditentukkan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir., kecuali kemudian ditentukkan lain oleh para pihak. [12]
Dasar hukum tentang hal ini dapat dilihat dalam Qs At Taubah ayat (9):4
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\9_4.png
“ Kecuali orang  orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) mu dan tidka (pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu. Maka terhadap mereka itu penuhillah janjinya smapai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”
2.      Dibatalkan oleh pihak yang berakad atau terjadinya pembatalan atau pemutusan akad
Hal ini biasanya terjadi jika slah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian, maupun mengenai orangnya.
Pembolehan untuk membatalkan perjnajian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain menyimpang daria apa yang diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan Al Quran di antaranya Qs At Taubah (9): 7
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\9_7.png
“Bagimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadkaan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharam ?. maka selam mereka berlaku lurus terhadapmu. Hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”
Selain itu pembatalan/pemutusan akad dapat terjadi dengan sebab-sebab berikut: [13]
a.       Adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti terdapat kerusakan dlaam akad (fasad al-‘aqd). Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi kejelasan (juhalah) dan tertentu waktunya (mu’aqqat)
b.      Adanya khiyar, baik khiyar rukyah, khiyar ‘aib, khiyar syarat, atau khiyar majelis
c.       Adanya penyelesaian dari salah satu pihak (iqalah). Salah satu pihak yang berakad dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang barus aja dilakukan. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi saw riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah yang mengajarkan bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatlaan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak (man aqaala naadiman bai’atahu aqallallahu ‘atsaratuhu yaumal qiyamah).
Qs At Taubah ayat 12
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\9_12.png
“Jika mereka merusak sumaph (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu. Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.
Qs At Taubah ayat 13:
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\9_13.png
”Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang meruska sumapah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama muali memerangi kamu ?. mengapakaha kamu takut kepada mereka padahal Allah lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman”
3.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu. Katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku abgi ahli warisnya. Sebagai contohnya ketiak orang membuat perja njian pinjam uang. Kemudian meninggal dunia maka kewajiban untuk mengembalikkan utang menjadi kewajiban ahli waris.

4.      Jika ada kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan)[14]
Jika dalam suatu perjanjian terbukti adnaya penipuan, maka akad tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tertipu. Hal ini beradsarkan firman Allah swt. Qs Al- Anfal (8):58
Description: C:\Users\Acer Happy\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\8_58.png
“ Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan. Maka kembalikannlah perjnajian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat tiga cara/proses penyelesaian perselisihan, yaitu:
1.      perdamaian (ash Sulhu), yaitu suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di harapkan akan berakhir perselisihan.
2.      Arbitrase (at Tahkim), yaitu suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Terdapat tiga jenis arbitrase, yaitu arbitrase nasional (umum), khusus, dan internasional.
3.      Peradilan (Al Qadha), yaitu lembaga hukum juga bisa dikatakan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau berarti menghindarkan masalah dari pihak-pihak yang bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka, dengan menggunakan hukum Allah. Terdapat dua lembaga peradilan, yaitu Wilayah madzalim dan wilayah hisbah.
Adapun penyebab berakhirnya akad, yaitu Berakhirnya Masa Berlaku Akad; Dibatalkan oleh pihak yang berakad atau terjadinya pembatalan atau pemutusan akad; Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.; Jika ada kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan).



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Anshari. 2010. hukum perikatan di indoensia. Yogyakarta: UGM PRESS.
Abdul Qadim Zullum. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Al-Izzah.
Ahmad, Ifham Sholihin. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Gramedia Pustaka Utama.
Arifin, Zaenal. 2008 Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam. Dimuat dalam Majalah Himmah Vol. VII
Djalil, Basiq.2012. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah.
Chairuman Pasaribu dan Suahwirdhi K Lubis. 2010. Hukum Perjanjian dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Djamil, Fatturahman. 2012. Penerapan Hukum Perajnajin dalam Transaksi di Lemabaga Keuangan Syariah.
Ghazaly Abdul Rahman, Ihsan Ghufron, Shidiq Sapiudin. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Hasbi Ash Shiddieqi. 1994. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: PT Ma’arif.
K. Lubis, Pasaribu Suhrawardi. 1994. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Poerwosutjipto, H.M.N. 1992. Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Jakarta: Djambatan.
Wirawan. 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik. Jakarta: Salemba Humanika
Zuhaly, Wahbah. 2005. al- Fiqih al – Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al- Fikr al- Muashir.



[1] Wahbah Zuhaily, al- Fiqih al – Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al- Fikr al- Muashir, 2005, jilid IV, hlm. 4330
[2]  Ghazaly Abdul Rahman,M.A. Prof. Dr. H, Ihsan Ghufron M.A. Drs. H, Shidiq Sapiudin, M.A. Drs. Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010. Hlm. 197.
[3] Ifham Sholihin  Ahmad, Buku Pintar Ekonomi Syariah, 2010, Gramedia Pustaka Utama, hlm.408.
[4] H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.1.
[5] Al-Mabsuth XXI : 62
[6] Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Amzah.: Jakarta, 2012), hlm. 97
[7] TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 85
[8] [8] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Hlm 215-221
[9] Hasbi Ash Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: PT Ma’arif,1994) hal. 97
[10] Ibid, hlm. 54-59
[11] Abdul Qadim Zullum, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta: Al-Izzah, 2002), hlm. 231
[12] Abdul Ghafur Anshari, hukum perikatan di indoensia., (Yogyakarta: UGM PRESS, 2010), hal 37
[13] Fatturahman Djamil, Penerapan Hukum Perajnajin dalam Transaksi di Lemabaga Keuangan Syariah 2012 ,hal 59
[14] Chairuman Pasaribu dan Suahwirdhi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar