BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fa’i dan Ghonimah
1.
Fa’i
Kata Fa’i berasal dari kata fa’a yafi’u yang berarti
kembali. Fa’i bermakna harta yang diadapatkan oleh pasukan muslimin dari pihak
musuh tanpa melalui proses pertempuran lebih dulu. Seperti yang pernah terjadi
pada bani nadhir, atau orang orang kafir melarikan diri karena takut terhadap
kaum muslimin dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta
tersebut dikuasai oleh kaum muslimin, atau orang orang kafir takut dan
melakukan perdamaian dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta
dan tanah mreka, seperti terjadi pada penduduk pidak,. Harta fai ini menjadi
milik rasulallah saw, sebagian dibelanjakan rasulallah untuk keperluan
keluarganya selama setahun. Sisanya dijadikan oleh beliau untuk keperluan
amunisi dan penyediaan senjata perang. Setelah beliau wafat abu bakar dan umar
melakuakan hal yang sama.[1]
Abdul baqi ramdhon mendefinisikan fai yaitu segala apa yang
dirampas dari orang orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda
,aupun unta seperti harta yang ditinggalkan orang orang kafir karena takut
diserang oeh kaum muslimin dan mereka melarikan diri harta jizyah harta pajak
dan hasil konpensasi perdamaian harta ahli zimah yang mati tidak punya waris,
dan harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
Harta fa’i adalah harta yang halal dan ia sebagai sebaik baik harta
harta sebagai mana harta ghonimah hanya eda ia harta ynag diambil dari orang
kafir tanpa melalui kekerasan atau peperangan.
Imam An-Nawawi membagi sumber dari harta fai menjadi dua macam
yaitu:[2]
1.
Fa’i yang diambil dari orag orang kafir dikarenakan adanya ekspansi
terhadap mereka da mereka kabur dan takut dari kaum muslimin.maka harta ini
haru dibagi bagi menjadi seperlima sebagaimana harta ghanimah.
2.
Fa’i yang diambil dari orang orang kafir tanpa ada rasa takut. Ini
meliputi:
a)
Harta jizyah yaitu pungutan yang diambil dari ahludzimah pada akhir
tahun yang negerinya di taklukan melalui perang.
b)
Harta pajak hasil konpensasi perdamaian.
c)
Khoroj (pajak bumi) yaitu pungutan yang dikenalkan pada tanah tanah
yang dikuasaioleh kaum muslimin.
d)
Harta ahli dzimah yang mati dan ia tidak mempunyai ahli waris.
e)
Harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
Harta rampasan fai biasa bernilai ketika Fa’i yang diambil dari
orang kafir dengan cara pengadaan ekspansimaka fa’i bisa di dapatkan apabila:
1.
Musuh jelas.
2.
Ketika jihad.
3.
Orang orang kafir menjaga hartanya kemudian kabur setelah
mengetahui kedatangan kaum muslimin.
4.
Fa’i yang diambil dari orang kafir tanpa adanya ekspansi.
3.
Ghonimah
Secara syariat ghonimah adlah segala sesuatu yang dihasilkan
manusia dengan mengerahkan upaya. Makna ghonimah secara syariat adalah harta
yang didapatkan dari musuh Islam dengan jalan perang dan pertempuran.[3]
a)
Harta yang dapat dipindahkan.
b)
Tawanan perang.
c)
Tanah.
Ghonimah juga
disebut dengan anfal, yaitu bentuk jamak dari kata nafal (tambahan)
karena harta ini merupakan harta tambahan bagi kaum muslimin. Dulu, pada masa
jahiliyah sebelum kedatangan Islam, apabila salah satu kabilah Arab menang atas
kabilah lain maka, kabilah yang menag akan memboyong harta rampasan perang,
kemudian membagi-bagikannya kepada petarung. Mereka menyediakan bagian yang
besar bagi pemimpin mereka. Hal ini terekam dalam bait yang dikatakan oleh
salah datu penyair,[4]
Kamu
berhak atas seperempat ghonimah. Harta kamu berhak atas harta yang kamu pilih
sendiri yang sesuai dengan kedudukannmudan segala harta yang didapatkan
sepanjang perjalanan menuju deamusuh yang akan digempur sebelum mengambil
ghonimah, serta harta yang lebih setelah pembagian ghonimah.
Penghalalan
harta rampasan ini merupakan suatu keistimewaan yang Allah SWT anugrahkan
kepada umat ini. Allah SWT telah mengahalalkan harta ghonimah hanya kepada umat
Muhammad SAW. Perihal kehalalan ini Allah mengatakan didalam firman-Nya,
“Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang
halal lagi baik dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun
Maha Penyayang.”(QS. Al-Anfal
[8]: 69)
Hadist shahih
berikut ini juga menegaskan kehalalan atas rampasan perang dikhususkan bagi
umat Muhammad. Seluruh umat sebelum Islam hadir, tidak memiliki kehalalan atas
harta rampasan perang, Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Rasul SAW. bersabda,
“Sungguh aku
telah diberikan lima keistimewaan yang tidak diberikan kepeada siapapun
sebelumku; 1) aku dikaruniakan kemenangan karena perasaan gentar (kepada musuh)
yang dirasakan sejauh perjalanan selama sebulan, 2) tah dijadikan untuku sebaga
tempat beribadah dan suci, sehingga siapapun dikalangan umatku yang memasuki
waktu shalat, shalatlah ia (diatas tanah sucu itu), 3) harta rampasan perang
dihalalkan bagiku, sedang ia tidak pernah dihalalkan kepada siapapun sebelumku,
4) aku dianugerahi syafaat (diakhirat), dan 5) ak diutus bagi seluruh manusia.
Salah satu
factor dihalalkanya ghonimah ada dalam hadist yang diriwayatkan oleh abu
hurairoh r.a berikut ini:
“Harta
rampasan perang tidak dihalalkan bagi siapapun sebelum kita. Hal itu karena
Allah SWT melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita. Karena itu, Dia menjadikan
harta itu sebagai harta yang baik (halal) bagi kita.”
B.
Kandungan Ayat
Al-Qur’an Al-Hasyr
[59]: 7)
مَاأَفَاءَاللَّهُ
عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أْهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِالسَّبِيلِ كَيْلَايَكُونَدُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِمِنْكُمْ وَمَاءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُواوَاتَّقُوااللَّهَ إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَابِ
“Apa saja harta
rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa
saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas
kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS al-Hasyr [59] 7).[5]
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam
mengatur seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah
jelas menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan
abai terhadap urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.[6]
Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak
disyariatkannya daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait
erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa
mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga
membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Jika umat
Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih membuat
kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada muslim, justru mereka
menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang memadai, sebagaimana yang
terjadi saat ini.[7]
C.
Makna Global Ayat
Pokok pembicaraan
ayat di atas adalah seputar hokum fa’I, yaitu harta rampasan perang yang
diperoleh dari musuh. Sedangkan harta rampasan itu untuk Allah, untuk Rasul,
kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Cara pembagian
tersebut merupakan wujud keadilan distribusi harta, dengan tujuan supaya harta
tersebut tidak beredar diantara orang-orang kaya saja. Bertaqwalah kepada Allah
dengan meninggalkan apa yang dilarangoleh Allah.[8]
D.
Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: مَاأَفَاءَاللَّهُ عَلَىرَسُولِهِ مِنْ أْهْلِ الْقُرَى (apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata al-fâ’a
berarti radda (mengembalikan). Dengan kata tersebut seolah ingin
dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan Allah Swt. sebagai
sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu digunakan
tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang menggunakannya tidak
pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal diciptakan.
Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada muslim yang membelanjakannya untuk
kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.[9]
Menurut kebanyakan
mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam
ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS al-Hasyr [59]: 6).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang diambil dari
kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan pasukan unta dan
kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir. Semua harta yang mereka tinggalkan itu
disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir,
namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni
tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari
mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang
lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua
negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.[10]
Tiadanya
benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fa’i dengan ghanîmah.
Berbeda dengan harta fa’i, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui
jalan peperangan. Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian
ghanîmah dijelaskan dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka pembagian fa’i
dijelaskan dalam QS al-Hasyr [59]: 6 dan 7.
Berdasarkan QS
al-Hasyr [59]: 6, harta fa’i tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah
saw.;distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta
Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak
kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif,
lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.[11]
Imam Syafi’I
(dalam Al-Qurtubi) berpendapat bahwa ayat 7 dan ayat sebelumnya yaitu ayat 6
surat Al-Hasyr mengandung makna yang sama. Maksudnya, harta yang diperoleh
tanpa peperangan (fa’i) itu dibagi menjadi lima bagian yaitu: 4/5 antara
diberikan kepada Nabi, dan 1/5 lainnya diberikan kepada lima bagian: (1) satu
bagian untuk Rasulullah, (2) satu bagian untuk bagian untuk kerabat yaitu Bani
Hasyim dan Bani Muthalib, sebab mereka terlaarang menerima zakat sehingga Allah
memberikan hak kepada mereka pada fa’I, (3) satu bagian untuk anak-anak
yatim, (4) satu bagian untuk orang-orang miskin, dan (5) satu bagian lainnya
Ibnu Sabil. Adapun setelah Rasululah SAW meninggal dunia, dalam satu qaul (pendapatnya),
harta fa’I yang diberikan kepada orang-orang yang berjihad lagi
menjalani peperangan di barisan depan. Sebab merekalah yang berdiri di
tempatRasul. Namun dalam qaul yang lainnya, yaitu untuk menutupi celah
di bagian depan, menggali sungai, membangun jembatan dan melakukan hal-hal yang
penting kemudian yang penting. Ini untuk 4/5 harta fa’I dan ghonimah (harta
rampasan melalui peperangan), setelah beliau wafat, harta ini diperuntukan bagi
kepentingan kaum muslimin dan dalam hal ini tanpa ada beda pendapat.[12]
Selanjutnya
dijelaskan mengenai alokasi harta fa’i itu. Allah Swt. berfirman:
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِالسَّبِيلِ فَلِلَّهِ (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِالسَّبِيلِ فَلِلَّهِ (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
Pertama:لِلَّهِ (untuk Allah).
Menurut Quraish Shihab, maknanya yaitu adakepentingan umum satu bagian dari
harta fa’I tersebut diberikan kepada Allah dalam hal ini adalah kepentingan
umum. Pendapat lain tidak memahaminyan demikian. Penyebutan kata lillah – menurut
mereka- adalah dalam konteks menekankan kepemilikan dan wewenang-Nya menetapkan
siapa yang berhak menerima harta rampasan. Kalaupun kata lillah dipahami dalam arti untuk Allah maka penyebutannya hanyalah untuk
menggambarkan perlunya menyebut Allah dalam segala sesuatu guna memperoleh
berkat dan restu-Nya, sambil mengisyaratkan bahwa apa yang kepada Rasul SAW.
itu, pada hakikatnya beliau gunakan sesuai dengan petunjuk Allah SWT. [13]diberikan
Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu sebagaimana yang
dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta tersebut kepada Rasulullah
saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa
li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak memberikan makna adanya dua bagian,
sesungguhnya itu untuk menunjukkan satu bagian. Tidak ada perbedaan pendapat
bahwa setelah Beliau wafat, bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan
kaum muslim.[14]
Kedua: الْقُرْبَى ذِ(kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah
saw. yang dimaksudkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Dua kerabat
Rasulullah saw. itu, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta
rampasan. Menurut para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan
menerima harta sedekah.[15]
Ketiga: وَالْيَتَامَى (anak-anak yatim). anak yatim
adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Status yatim itu terus
berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-Thabari, mereka adalah anak-anak kaum
muslim yang membutuhkan dan tidak memiliki harta.[16]
Keempat: الْمَسَاكِينِ (orang-orang miskin). Yang dimaksud
adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit
pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat
ini juga mencakup kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni
fakir dan miskin, jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup
kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.[17]
Kelima: وَابْنِالسَّبِيل. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan
bekal dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan
harta yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan
catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah
Swt.[18]
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab
disyariahkan) hukum tersebut dengan firman-Nya: كَيْلَايَكُونَدُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِمِنْكُمْ (supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya di antara kamu saja). Karena huruf kay
termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab
ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah
atas ketentuan hukumnya.[19]
Secara bahasa, kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan
di antara suatu kaum. Dengan demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya
hukum tentang alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta
tidak hanya beredar dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja.[20]
Dengan ketentuan pembagian harta fa’i tersebut, kaum miskin pun bisa
berkesempatan mendapatkan giliran memiliki harta. Sebab orang-orang jahiliyah
dulu, jika mereka mendapatkan harta rampasan perang, maka pemimpin mereka
mengambil ¼ (seperempat) dari harta rampasan untuk dirinya, dan harta yang ¼
(seperempat) dari harta yang disebut al-mirba’. Setelah itu, dia pun
masih berhak untuk mengambil bagian yang dikehendakinya, setelah al-mirba’ itu.[21]
Abu Amru bin Al’Ala berkata, ad-daulah adalah kemenangan
dalam peperangan dan yang lainnya, bentuk mashdar. Sedangkan ad-duulah adalah
nama bagi sesuatu yang diputarkan, yaitu harta. Begitu juga menurut pendapat
Abu Ubaidah sama seperti pendapat diatas, hanya bedanya kata ad-daulah adalah
perbuatan (yang diputarkan).[22]
Menurut Ash-Shabuni bahwa ulama tafsir berkata: Nabi SAW membagikan
harta benda rampasan (Bani Nadzir) kepada Muhajirin), sebab saat itumereka
miskin. Sementara kepada kaum Anshar, beliau tidak memberi apapun karena mereka
kaya padahal pada saat itu sebagian orang Ansshar mengklaim “kita mempunyai dua
bagian harta fa’I ini”, lalu turunlah firman Allah: “Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah”.[23]
Allah Swt. berfirman: وَمَاءَاتَاكُمُالرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (apa yang Rasul berikan kepada kalian,
terimalah; apa dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat
ini, kalimat itu bermakna: Semua harta ghanîmah dan fa’i yang diberikan oleh
Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya, yang Beliau larang, tinggalkanlah.
Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan pembagian ghanîmah
dan fa’i, hukumnya berlaku umum dan mencakup semua perkara yang dibawa
Rasulullah saw., baik perintah maupun larangan, ucapan maupun perbuatan,
sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi
khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan berdasarkan keumuman
ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).[24]
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna
al-amr (perintah). Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah
an-nahy, yakni وَمَانَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُو (apa yang dia larang
atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-nahy tidak lain adalah
al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«إِذَاأَمَرْتُكُمْبِأَمْرٍفَأْتُوْامِنْهُمَااسْتَطَعْتُمْوَمَانَهَيْتُكُمْعَنْهُفَاجْتَنِبُوْهُ»
"Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah
semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah"(HR al-Bukhari).[25]
Maksudnya apa yang beliau (Rasul) berikan kepada kalian dari harta
rampasan erang terimalah itu. Dan apa yang beliau larang atas kalian, yaitu
larangan untuk mengambilnya dan melakukan penghianatan/pencurian/penilapan
terhadap harta fa’I maka
tinggalkanlah. Demikian menurut Al-Hasan dan yang lainnya. As-Sudi berkata: apa
yang yang belaia berikan kepada kalian dari harta fa’I maka terimalah, dan apa yang kalian
memintanya. Ibnu berkata: apa yang beliau berikan kepadamu yang berupa ketaatan
terhadap-Ku, maka terimalah, dan apa yang beliau larang atas kalian yang berupa
kemaksiatan terhadap-Ku, maka hindarilah. Sementara Al-Mawardi berkata: bahwa
firman Allah itu bersifat umum untuk seluruh perintah dan larangan Rasul,
dimana belaia hanya aka memerintahkan pada kebaikan, dan melarang dari
kemaksiatan. Al-Qurtubi mendukung ketiga pendapat tersebut diatas. [26]Para
Sahabat pun memahami keumuman ayat ini.
Allah Swt. berfirman: وَاتَّقُوااللَّهَ (Bertakwalah kalian
kepada Allah). Kalimat ini menegaskan perintah sebelumnya. Perintah ini
wajib karena adanya sanksi atas orang yang tidak bersedia mengerjakannya.
Sanksi itu berupa azab yang pedih. Menurut satu pendapat, maknanya adalah
takutlah kepda Allah terkait dengan perintah dan larangan-Nya, dan janganlah
kalian menyia-nyiakan perintah dan larangan-Nya itu.[27]
Allah Swt. berfirman: إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَابِ (Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya). Maksudnya
hukuman keras itu diberikan terhadap orang yang menentang apa yang
diperintahkan-Nya.[28]
Totalitas Islam
Keberadaan harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas
jihad fi sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin
yang memberikan komando kepada seluruh kaum muslim, memobilisasi tentara dan
rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu
semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.
Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya
Rasulullah saw, wewenang dan otoritas distribusi harta fa’i dan ghanîmah ada di
tangan Imam atau khalifah. Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk
mengelola dan mendistribuskan harta itu demi kemaslahatan kaum muslim.
Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya keberadaan khalifah. Realitas itu jelas
menggugurkan klaim sebagian orang yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan.
Kekayaan yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh
hanya dinikmati segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan
jika ada institusi negara yang berwenang atasnya.
Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja,
sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini
menegaskan: وَمَاءَاتَاكُمُالرَّسُولُ
فَخُذُوهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُو (Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa
saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu artinya, seluruh ketentuan
syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan. Tidak boleh dibedakan
hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât (sanksi-sanksi hukum). Pasalnya, ayat
ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan syariah. Ketentuan
ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab yang pedih,
sebagaimana firman-Nya: وَاتَّقُوااللَّهَ
إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَاب (Bertakwalah kalian
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).[29]
E.
Makna Ayat Hubungannya dengan Ekonomi
Menurut Ibnu Abi Najih dan yang dikutip oleh Al-Qurtubi bahwa harta
itu ada 3 macam:[30]
1.
Ghanimah, yaitu harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dari orang
-orang kafir melalui peperangan, pemaksaan dan penaklukan.
2.
Fa’I , yaitu harta orang kafir yang diberikan kepada kaum muslimin
secara suka rela tanpa ada peperangan dan pengerahan (kuda dan unta), seperti:
konfensasi perdamaian, pajak, khoroj dan usyr yang diambil dari pedagang
pedagang kafir. Demikian pula dengan harta yang ditinggalkan orang kafir, atau
harta warisan salah seorang dari mereka yang meninggal dinegeri islam,
sementara dia tidak mempunyai ahli waris.
3.
Shadaqah, yaitu harta yang diambl dari kaum muslimin untuk
menucikan harta mereka misalnya shadaqah dan zakat.
Adapun harta shadaqah , harta ini diberikan kepada fakir, miskin
dan amil sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Bara’ah (Al-taubah,
9:60). Sedangkan harta ghanimah, pada awal-awal islam harta ini diberikan
kepada nabi SAW, diamana beliau melakukan apapun yang beliau kehendaki pada
harta itu, tentunya dengan petunjuk dari Allah SWT(Qs. Al-Anfal, 9: 4). Adapin
harta fa’I, pembagiannya adalah sama dengan pembagian khums. Menurut Imam Malik
pembagian itu diserahkan kepada imam (penguasa). Jika dia (penguasa)berpendapat
bahwa kedua harta itu (fa’I dan khums) harus disimpan untuk sesuatu yang akan
menimpa kaum muslimin, maka dia berhak melakukan itu. Tapi jika dia (penguasa)
berpendapat bahwa keduanya atau salah satunya harus dibagikan, maka dia dapat
membagikan sepenuhnya kepada orang-orang. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan
antara orang-orang fakir dan budak. Namun pembagian itu harus dimulai dengan
orang-orang fakir baik yang laki-laki dan perempuan, sampai mereka cukup. Karib
kerabat rasul juga harus diberikan bagiannya dari harta fa’I sesuai dengan
pendapat sang imam (penguasa). Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu.[31]
Harta yang
diambil dari suatu daerah harus dibagikan seluruhnya di daerah tersebut, dan
tidak boleh dialihkan ke daerah yang lain sampai penduduk di daerah itu
terpenuhi atau cukup. Setelh itu, barulah harta itu boleh dialihkan ke daerah
lain yang paling dekat, kecuali bila di daerah lain terdapat paceklik yang
sangat, maka harta itu boleh dialihkan kepada orang-orang yang mengalami
paceklik itu, dimana mereka berada. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Umar bin Khatab pada tahun kelabu, dimana paceklik berlangsung selama lima atau
enam tahun.[32]
Dari teori tersebut diatas, jika melihat pengertian fa’I maka salah
satu yang termasuk dalam katgori fa’I adlaah pajak. Karena pajak ini diperoleh
tanpa peperangan, sebagaimana fa’I. Dalam bidang perekonomian bahwa salah satu
sector pendapatan Kas Negara yang paling strategis adalah sector pajak. Dengan
pajak ini, hendaknya seorang penguasa memanfaatkannya untuk kepentingan Negara
dan rakyatnya terutama kalangan yang lemah dan miskin. Sehingga dengan masuknya
pajak, maka kesejahteraan akan terwujud.[33]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Harta fa’I dan ghonimah merupakan dua sector pendapatan Negara yng
sangat penting. Untuk itu dalam surah Al-Hasyr ayat 7 dijelaskan secra rinci
pembagian-pembagiannya masing-masing. Mulai dari fakir, miskin anak yatim dan
yang lainnya yaitu dengan tujuan mensejahterakan rakyat. Ayat ini juga
memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan
Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir
orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara
yang berwenang atasnya. Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya
nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana
pun.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiani. (2012). Ayat-ayat dan
Hadist Ekonomi Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sabiq, S. (2015). Fiqh Sunnah. Depok: Keira .
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Tangerang:
Lentera Hati.
Yusup Azazy, S. A. (2014). Tafsir Ayat-ayat Ekonomi.
Bandung.
http://muslim.or.id/6283-pajak-dalam-islam.html. Di unduh pada 5
November 2015 waktu 17.19.
Di unduh pada 5 November 2015 waktu 17.30.
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/.
Di unduh tanggal 7 november 2015 waktu 15.49 wib.
http://thoriquna.wordpress.com/2010/10/10/fai-dan-ghonimah-bagi-yang-masih-ragu/. Di unduh pada tanggal 6
November 2015 waktu 22.27 wib.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2015, Depok, Keira. hlm. 367.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. hlm. 343.
[4] Ibid, hlm. 343.
[5] Mardani, Ayat-ayat dan Hadist Ekonomi Syariah, Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2012. hlm. 87.
[7] Ibid.
[8] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 149.
[10] Ibid.
[12] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 151.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Tangerang: Lentera
Hati, 2002. Cet. I hlm. 112.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[22] Ibid. hlm. 151.
[23] Ibid. hlm. 152.
[25] Ibid.
[27] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 153.
[30] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 153.
[31] Ibid. hlm. 154.
[32] Ibid. hlm. 154.
[33] Ibid. hlm. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar