Rabu, 18 Januari 2017

FA,I DAN GHONIMAH

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Fa’i dan Ghonimah
1.      Fa’i
Kata Fa’i berasal dari kata fa’a yafi’u yang berarti kembali. Fa’i bermakna harta yang diadapatkan oleh pasukan muslimin dari pihak musuh tanpa melalui proses pertempuran lebih dulu. Seperti yang pernah terjadi pada bani nadhir, atau orang orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin, atau orang orang kafir takut dan melakukan perdamaian dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mreka, seperti terjadi pada penduduk pidak,. Harta fai ini menjadi milik rasulallah saw, sebagian dibelanjakan rasulallah untuk keperluan keluarganya selama setahun. Sisanya dijadikan oleh beliau untuk keperluan amunisi dan penyediaan senjata perang. Setelah beliau wafat abu bakar dan umar melakuakan hal yang sama.[1]
Abdul baqi ramdhon mendefinisikan fai yaitu segala apa yang dirampas dari orang orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda ,aupun unta seperti harta yang ditinggalkan orang orang kafir karena takut diserang oeh kaum muslimin dan mereka melarikan diri harta jizyah harta pajak dan hasil konpensasi perdamaian harta ahli zimah yang mati tidak punya waris, dan harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
Harta fa’i adalah harta yang halal dan ia sebagai sebaik baik harta harta sebagai mana harta ghonimah hanya eda ia harta ynag diambil dari orang kafir tanpa melalui kekerasan atau peperangan.
Imam An-Nawawi membagi sumber dari harta fai menjadi dua macam yaitu:[2]
1.      Fa’i yang diambil dari orag orang kafir dikarenakan adanya ekspansi terhadap mereka da mereka kabur dan takut dari kaum muslimin.maka harta ini haru dibagi bagi menjadi seperlima sebagaimana harta ghanimah.
2.      Fa’i yang diambil dari orang orang kafir tanpa ada rasa takut. Ini meliputi:
a)      Harta jizyah yaitu pungutan yang diambil dari ahludzimah pada akhir tahun yang negerinya di taklukan melalui perang.
b)      Harta pajak hasil konpensasi perdamaian.
c)      Khoroj (pajak bumi) yaitu pungutan yang dikenalkan pada tanah tanah yang dikuasaioleh kaum muslimin.
d)     Harta ahli dzimah yang mati dan ia tidak mempunyai ahli waris.
e)      Harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
Harta rampasan fai biasa bernilai ketika Fa’i yang diambil dari orang kafir dengan cara pengadaan ekspansimaka fa’i bisa di dapatkan apabila:
1.      Musuh jelas.
2.      Ketika jihad.
3.      Orang orang kafir menjaga hartanya kemudian kabur setelah mengetahui kedatangan kaum muslimin.
4.      Fa’i yang diambil dari orang kafir tanpa adanya ekspansi.

3.      Ghonimah
Secara syariat ghonimah adlah segala sesuatu yang dihasilkan manusia dengan mengerahkan upaya. Makna ghonimah secara syariat adalah harta yang didapatkan dari musuh Islam dengan jalan perang dan pertempuran.[3]
a)      Harta yang dapat dipindahkan.
b)      Tawanan perang.
c)      Tanah.
Ghonimah juga disebut dengan anfal, yaitu bentuk jamak dari kata nafal (tambahan) karena harta ini merupakan harta tambahan bagi kaum muslimin. Dulu, pada masa jahiliyah sebelum kedatangan Islam, apabila salah satu kabilah Arab menang atas kabilah lain maka, kabilah yang menag akan memboyong harta rampasan perang, kemudian membagi-bagikannya kepada petarung. Mereka menyediakan bagian yang besar bagi pemimpin mereka. Hal ini terekam dalam bait yang dikatakan oleh salah datu penyair,[4]
Kamu berhak atas seperempat ghonimah. Harta kamu berhak atas harta yang kamu pilih sendiri yang sesuai dengan kedudukannmudan segala harta yang didapatkan sepanjang perjalanan menuju deamusuh yang akan digempur sebelum mengambil ghonimah, serta harta yang lebih setelah pembagian ghonimah.
Penghalalan harta rampasan ini merupakan suatu keistimewaan yang Allah SWT anugrahkan kepada umat ini. Allah SWT telah mengahalalkan harta ghonimah hanya kepada umat Muhammad SAW. Perihal kehalalan ini Allah mengatakan didalam firman-Nya,
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”(QS. Al-Anfal [8]: 69)
Hadist shahih berikut ini juga menegaskan kehalalan atas rampasan perang dikhususkan bagi umat Muhammad. Seluruh umat sebelum Islam hadir, tidak memiliki kehalalan atas harta rampasan perang, Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Rasul SAW. bersabda,
“Sungguh aku telah diberikan lima keistimewaan yang tidak diberikan kepeada siapapun sebelumku; 1) aku dikaruniakan kemenangan karena perasaan gentar (kepada musuh) yang dirasakan sejauh perjalanan selama sebulan, 2) tah dijadikan untuku sebaga tempat beribadah dan suci, sehingga siapapun dikalangan umatku yang memasuki waktu shalat, shalatlah ia (diatas tanah sucu itu), 3) harta rampasan perang dihalalkan bagiku, sedang ia tidak pernah dihalalkan kepada siapapun sebelumku, 4) aku dianugerahi syafaat (diakhirat), dan 5) ak diutus bagi seluruh manusia.
Salah satu factor dihalalkanya ghonimah ada dalam hadist yang diriwayatkan oleh abu hurairoh r.a berikut ini:
Harta rampasan perang tidak dihalalkan bagi siapapun sebelum kita. Hal itu karena Allah SWT melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita. Karena itu, Dia menjadikan harta itu sebagai harta yang baik (halal) bagi kita.”

B.     Kandungan Ayat
            Al-Qur’an Al-Hasyr [59]: 7)
مَاأَفَاءَاللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أْهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِالسَّبِيلِ كَيْلَايَكُونَدُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِمِنْكُمْ وَمَاءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُواوَاتَّقُوااللَّهَ إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS al-Hasyr [59] 7).[5]
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai terhadap urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.[6]
Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak disyariatkannya daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Jika umat Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih membuat kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada muslim, justru mereka menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang memadai, sebagaimana yang terjadi saat ini.[7]

C.    Makna Global Ayat
            Pokok pembicaraan ayat di atas adalah seputar hokum fa’I, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh. Sedangkan harta rampasan itu untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang  yang dalam perjalanan. Cara pembagian tersebut merupakan wujud keadilan distribusi harta, dengan tujuan supaya harta tersebut tidak beredar diantara orang-orang kaya saja. Bertaqwalah kepada Allah dengan meninggalkan apa yang dilarangoleh Allah.[8]

D.    Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: مَاأَفَاءَاللَّهُ عَلَىرَسُولِهِ مِنْ أْهْلِ الْقُرَى (apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata al-fâ’a berarti radda (mengembalikan). Dengan kata tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada muslim yang membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.[9]
Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir. Semua harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.[10]
Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fa’i dengan ghanîmah. Berbeda dengan harta fa’i, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan. Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmah dijelaskan dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka pembagian fa’i dijelaskan dalam QS al-Hasyr [59]: 6 dan 7.
Berdasarkan QS al-Hasyr [59]: 6, harta fa’i tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw.;distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.[11]
Imam Syafi’I (dalam Al-Qurtubi) berpendapat bahwa ayat 7 dan ayat sebelumnya yaitu ayat 6 surat Al-Hasyr mengandung makna yang sama. Maksudnya, harta yang diperoleh tanpa peperangan (fa’i) itu dibagi menjadi lima bagian yaitu: 4/5 antara diberikan kepada Nabi, dan 1/5 lainnya diberikan kepada lima bagian: (1) satu bagian untuk Rasulullah, (2) satu bagian untuk bagian untuk kerabat yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib, sebab mereka terlaarang menerima zakat sehingga Allah memberikan hak kepada mereka pada fa’I, (3) satu bagian untuk anak-anak yatim, (4) satu bagian untuk orang-orang miskin, dan (5) satu bagian lainnya Ibnu Sabil. Adapun setelah Rasululah SAW meninggal dunia, dalam satu qaul (pendapatnya), harta fa’I yang diberikan kepada orang-orang yang berjihad lagi menjalani peperangan di barisan depan. Sebab merekalah yang berdiri di tempatRasul. Namun dalam qaul yang lainnya, yaitu untuk menutupi celah di bagian depan, menggali sungai, membangun jembatan dan melakukan hal-hal yang penting kemudian yang penting. Ini untuk 4/5 harta fa’I dan ghonimah (harta rampasan melalui peperangan), setelah beliau wafat, harta ini diperuntukan bagi kepentingan kaum muslimin dan dalam hal ini tanpa ada beda pendapat.[12]
Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fa’i itu. Allah Swt. berfirman:
 وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِالسَّبِيلِ فَلِلَّهِ (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
Pertama:لِلَّهِ (untuk Allah). Menurut Quraish Shihab, maknanya yaitu adakepentingan umum satu bagian dari harta fa’I tersebut diberikan kepada Allah dalam hal ini adalah kepentingan umum. Pendapat lain tidak memahaminyan demikian. Penyebutan kata lillah – menurut mereka- adalah dalam konteks menekankan kepemilikan dan wewenang-Nya menetapkan siapa yang berhak menerima harta rampasan. Kalaupun kata lillah  dipahami dalam arti untuk Allah  maka penyebutannya hanyalah untuk menggambarkan perlunya menyebut Allah dalam segala sesuatu guna memperoleh berkat dan restu-Nya, sambil mengisyaratkan bahwa apa yang kepada Rasul SAW. itu, pada hakikatnya beliau gunakan sesuai dengan petunjuk Allah SWT. [13]diberikan Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta tersebut kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak memberikan makna adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan satu bagian. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat, bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslim.[14]
Kedua: الْقُرْبَى ذِ(kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Dua kerabat Rasulullah saw. itu, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima harta sedekah.[15]
Ketiga: وَالْيَتَامَى (anak-anak yatim). anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-Thabari, mereka adalah anak-anak kaum muslim yang membutuhkan dan tidak memiliki harta.[16]
Keempat: الْمَسَاكِينِ (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin, jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.[17]
Kelima: وَابْنِالسَّبِيل. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah Swt.[18]
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) hukum tersebut dengan firman-Nya: كَيْلَايَكُونَدُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِمِنْكُمْ (supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja). Karena huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah atas ketentuan hukumnya.[19]
Secara bahasa, kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan di antara suatu kaum. Dengan demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya hukum tentang alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja.[20] Dengan ketentuan pembagian harta fa’i tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan giliran memiliki harta. Sebab orang-orang jahiliyah dulu, jika mereka mendapatkan harta rampasan perang, maka pemimpin mereka mengambil ¼ (seperempat) dari harta rampasan untuk dirinya, dan harta yang ¼ (seperempat) dari harta yang disebut al-mirba’. Setelah itu, dia pun masih berhak untuk mengambil bagian yang dikehendakinya, setelah  al-mirba’ itu.[21]
Abu Amru bin Al’Ala berkata, ad-daulah adalah kemenangan dalam peperangan dan yang lainnya, bentuk mashdar. Sedangkan ad-duulah adalah nama bagi sesuatu yang diputarkan, yaitu harta. Begitu juga menurut pendapat Abu Ubaidah sama seperti pendapat diatas, hanya bedanya kata ad-daulah adalah perbuatan (yang diputarkan).[22]
Menurut Ash-Shabuni bahwa ulama tafsir berkata: Nabi SAW membagikan harta benda rampasan (Bani Nadzir) kepada Muhajirin), sebab saat itumereka miskin. Sementara kepada kaum Anshar, beliau tidak memberi apapun karena mereka kaya padahal pada saat itu sebagian orang Ansshar mengklaim “kita mempunyai dua bagian harta fa’I ini”, lalu turunlah firman Allah: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[23]
Allah Swt. berfirman: وَمَاءَاتَاكُمُالرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua harta ghanîmah dan fa’i yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya, yang Beliau larang, tinggalkanlah. Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fa’i, hukumnya berlaku umum dan mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik perintah maupun larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).[24]
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah). Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُو (apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-nahy tidak lain adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«إِذَاأَمَرْتُكُمْبِأَمْرٍفَأْتُوْامِنْهُمَااسْتَطَعْتُمْوَمَانَهَيْتُكُمْعَنْهُفَاجْتَنِبُوْهُ»
"Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah"(HR al-Bukhari).[25]
Maksudnya apa yang beliau (Rasul) berikan kepada kalian dari harta rampasan erang terimalah itu. Dan apa yang beliau larang atas kalian, yaitu larangan untuk mengambilnya dan melakukan penghianatan/pencurian/penilapan terhadap harta fa’I  maka tinggalkanlah. Demikian menurut Al-Hasan dan yang lainnya. As-Sudi berkata: apa yang yang belaia berikan kepada kalian dari harta fa’I  maka terimalah, dan apa yang kalian memintanya. Ibnu berkata: apa yang beliau berikan kepadamu yang berupa ketaatan terhadap-Ku, maka terimalah, dan apa yang beliau larang atas kalian yang berupa kemaksiatan terhadap-Ku, maka hindarilah. Sementara Al-Mawardi berkata: bahwa firman Allah itu bersifat umum untuk seluruh perintah dan larangan Rasul, dimana belaia hanya aka memerintahkan pada kebaikan, dan melarang dari kemaksiatan. Al-Qurtubi mendukung ketiga pendapat tersebut diatas. [26]Para Sahabat pun memahami keumuman ayat ini.
Allah Swt. berfirman: وَاتَّقُوااللَّهَ (Bertakwalah kalian kepada Allah). Kalimat ini menegaskan perintah sebelumnya. Perintah ini wajib karena adanya sanksi atas orang yang tidak bersedia mengerjakannya. Sanksi itu berupa azab yang pedih. Menurut satu pendapat, maknanya adalah takutlah kepda Allah terkait dengan perintah dan larangan-Nya, dan janganlah kalian menyia-nyiakan perintah dan larangan-Nya itu.[27]
Allah Swt. berfirman: إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَابِ (Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya). Maksudnya hukuman keras itu diberikan terhadap orang yang menentang apa yang diperintahkan-Nya.[28]
Totalitas Islam
Keberadaan harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jihad fi sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang memberikan komando kepada seluruh kaum muslim, memobilisasi tentara dan rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.
Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang dan otoritas distribusi harta fa’i dan ghanîmah ada di tangan Imam atau khalifah. Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan mendistribuskan harta itu demi kemaslahatan kaum muslim. Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya keberadaan khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim sebagian orang yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara yang berwenang atasnya.
Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: وَمَاءَاتَاكُمُالرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُو (Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan. Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât (sanksi-sanksi hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab yang pedih, sebagaimana firman-Nya: وَاتَّقُوااللَّهَ إِنَّ اللَّهُ شَدِيدُالْعِقَاب (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).[29]

E.     Makna Ayat Hubungannya dengan Ekonomi
Menurut Ibnu Abi Najih dan yang dikutip oleh Al-Qurtubi bahwa harta itu ada 3 macam:[30]
1.      Ghanimah, yaitu harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dari orang -orang kafir melalui peperangan, pemaksaan dan penaklukan.
2.      Fa’I , yaitu harta orang kafir yang diberikan kepada kaum muslimin secara suka rela tanpa ada peperangan dan pengerahan (kuda dan unta), seperti: konfensasi perdamaian, pajak, khoroj dan usyr yang diambil dari pedagang pedagang kafir. Demikian pula dengan harta yang ditinggalkan orang kafir, atau harta warisan salah seorang dari mereka yang meninggal dinegeri islam, sementara dia tidak mempunyai ahli waris.
3.      Shadaqah, yaitu harta yang diambl dari kaum muslimin untuk menucikan harta mereka misalnya shadaqah dan zakat.
Adapun harta shadaqah , harta ini diberikan kepada fakir, miskin dan amil sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Bara’ah (Al-taubah, 9:60). Sedangkan harta ghanimah, pada awal-awal islam harta ini diberikan kepada nabi SAW, diamana beliau melakukan apapun yang beliau kehendaki pada harta itu, tentunya dengan petunjuk dari Allah SWT(Qs. Al-Anfal, 9: 4). Adapin harta fa’I, pembagiannya adalah sama dengan pembagian khums. Menurut Imam Malik pembagian itu diserahkan kepada imam (penguasa). Jika dia (penguasa)berpendapat bahwa kedua harta itu (fa’I dan khums) harus disimpan untuk sesuatu yang akan menimpa kaum muslimin, maka dia berhak melakukan itu. Tapi jika dia (penguasa) berpendapat bahwa keduanya atau salah satunya harus dibagikan, maka dia dapat membagikan sepenuhnya kepada orang-orang. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang-orang fakir dan budak. Namun pembagian itu harus dimulai dengan orang-orang fakir baik yang laki-laki dan perempuan, sampai mereka cukup. Karib kerabat rasul juga harus diberikan bagiannya dari harta fa’I sesuai dengan pendapat sang imam (penguasa). Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu.[31]
Harta yang diambil dari suatu daerah harus dibagikan seluruhnya di daerah tersebut, dan tidak boleh dialihkan ke daerah yang lain sampai penduduk di daerah itu terpenuhi atau cukup. Setelh itu, barulah harta itu boleh dialihkan ke daerah lain yang paling dekat, kecuali bila di daerah lain terdapat paceklik yang sangat, maka harta itu boleh dialihkan kepada orang-orang yang mengalami paceklik itu, dimana mereka berada. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatab pada tahun kelabu, dimana paceklik berlangsung selama lima atau enam tahun.[32]
Dari teori tersebut diatas, jika melihat pengertian fa’I maka salah satu yang termasuk dalam katgori fa’I adlaah pajak. Karena pajak ini diperoleh tanpa peperangan, sebagaimana fa’I. Dalam bidang perekonomian bahwa salah satu sector pendapatan Kas Negara yang paling strategis adalah sector pajak. Dengan pajak ini, hendaknya seorang penguasa memanfaatkannya untuk kepentingan Negara dan rakyatnya terutama kalangan yang lemah dan miskin. Sehingga dengan masuknya pajak, maka kesejahteraan akan terwujud.[33]



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Harta fa’I dan ghonimah merupakan dua sector pendapatan Negara yng sangat penting. Untuk itu dalam surah Al-Hasyr ayat 7 dijelaskan secra rinci pembagian-pembagiannya masing-masing. Mulai dari fakir, miskin anak yatim dan yang lainnya yaitu dengan tujuan mensejahterakan rakyat. Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara yang berwenang atasnya. Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun.














DAFTAR PUSTAKA

Mardiani. (2012). Ayat-ayat dan Hadist Ekonomi Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sabiq, S. (2015). Fiqh Sunnah. Depok: Keira .
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.
Yusup Azazy, S. A. (2014). Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. Bandung.
http://muslim.or.id/6283-pajak-dalam-islam.html. Di unduh pada 5 November 2015 waktu 17.19.
Di unduh pada 5 November 2015 waktu 17.30.
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/.
Di unduh tanggal 7 november 2015 waktu 15.49 wib.
http://thoriquna.wordpress.com/2010/10/10/fai-dan-ghonimah-bagi-yang-masih-ragu/.    Di unduh pada tanggal 6 November 2015 waktu 22.27 wib.







[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2015, Depok, Keira. hlm. 367.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. hlm. 343.
[4] Ibid, hlm. 343.

[5] Mardani, Ayat-ayat dan Hadist Ekonomi Syariah, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2012. hlm. 87.
[6] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/.
[7] Ibid.
[8] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 149.
[9] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/

[10] Ibid.
[11] Ibid.

[12] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 151.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Tangerang: Lentera Hati, 2002. Cet. I hlm. 112.
[14] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/
[15] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 151.
[22] Ibid. hlm. 151.
[23] Ibid. hlm. 152.
[24] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/
[25] Ibid.
[26] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi.  hlm. 152.
[27] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 153.
[28] Ibid. hlm. 153.
[29] http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/pembagian-harta-secara-adil-tafsir-qs-al-hasyr-59-7/
[30] Yusup Azazy, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi. hlm. 153.
[31] Ibid. hlm. 154.
[32] Ibid. hlm. 154.
[33] Ibid. hlm. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar