BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Lahirnya beberapa institusi syari’ah
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dan mu’amalat Islam,
serta semakin berkembangnya bisnis umat Islam yang diiringi munculnya keinginan
untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern dengan ketentuan-ketentuan
hukum Islam yang orisinal, menjadikan perlu dan pentingnya untuk melakukan
akad/perikatan yang diakui dan dilindungi oleh hukum di Indonesia. Walaupun
secara formal yuridis hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri tentang
Hukum Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD
1945, umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan atas dasar keyakinan
agama mereka. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan nasional sudah
tampak undang-undang yang mengatur tentang berlakunya Hukum Perikatan Islam,
seperti UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga dalam produk
legislasi nasional pun Hukum Perikatan Islam sudah diakui dan dapat
dipraktikan.
Salah satu akad yang banyak digunakan
didalam lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah adalah akad
murabahah yang merupakan salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah
banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup
menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau
hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing
dalam pengembangan modal mereka. Maka dengan begitu perlu kita pahami bagaimana
praktik perikatan dalam akad murabahah yang diterapkan dalam lembaga keuangan
syariah.
B. Rumusan Masalah
- Apakah
yang dimaksud dengan akad murabahah ?
- Bagaimana
penjelasan mengenai fatwa DSN tentang murabahah ?
- Bagaimanakah
praktik perikatan dalam akad murabahah ?
C. Tujuan
- Untuk
mengetahui pengertian dan unsur-unsur akad murabahah.
- Untuk
mengetahui penjelasan mengenai fatwa DSN tentang murabahah.
- Untuk
mengetahui bagaimana praktik perikatan dalam akad murabahah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penjelasan
Tentang Akad Murabahah
1.
Pengertian
Akad Murabahah
Al Murabahah berasal dari bahasa Arab
al-ribh (keuntungan). Ia dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata)
mufa’alat yang mengandunng arti saling. Oleh karenanya, sescara bahasa ia
salingmemberi keuntungan. Secara terminologi, ia diartikan dan didefinisikan
dengan redaksi yang variatif. Ahmad al Syaisy al Qaffal mengatakan, al
murabahah adalah tambahan modal. Bagi al-Sayid Sabiq, murabahah ialah penjualan
barang seharga pembelian disertai dengan keuntungan yang diberikan oleh
pembeli, artinya ada tambahan harga dari nilai harga beli. Sementara menurut
al-Syairazi, murabahah ialah penjualan dimana penjual memberitahukan kepada
pembeli harga pembeliannya, dan ia meminta keuntungan kepada pembeli
berdasarkan kwesepakatan antara keduannya. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, al
murabahah ialah penjualan dengan harga yang sama dengan modal dsisertai
tambahan keuntungan.[1]
Berdasarkan definisi diatas tampak
bahwa secara substansi al murabahah dikalangan ulama adalah sama meskipu
diformulasikan dengan resaksi yang berbeda. Hal ini mengilhami DSN-MUI sehingga
menawarkan definisi al murabahah dengamn, “menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarhnya dengan harga
yang lebih sebagai laba. Pengertian ini
senada dengan yang ditetapkan oleh penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf d UU No.
21 tahun 2008 meskipun frase “...sebagai laba” dalam fatwa, diganti dengan frase
“... sebagia keuntungan yang disepakati”.[2]
Dari beragam definisi ini dapat
ditarik benang merah, bahwa keuntungan adalah perbedaan nilai benda yang
diberikan dengan nilai benda yang diperoleh. Disamping itu, dalam akad
murabahah terdapat beberapa unsur seperti; transparansi dan kejujuran sehingga
melahirkan saling percaya antara penjual dan pembeli; akad ini lebih tampak
pada jual beli barang yang memiliki standar yang jels seperti sepeda motor,
adanya keuntungan sebagai tamabahan atas dasar kesepakatan; dan dilakukan
dengan tunai.[3]
Kesimpulannya, Murabahah adalah akad
jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati yang oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk
natural certainty contract (yakni memberikan kepastian pembiayaan baik dari
segi jumlah maupun waktu, cash flownya bisa diprediksi dengan relatif pasti,
karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak
yang bertransaksi di awal akad). Dikategorikan sebagai natural certainty
contract karena dalam Murabahah ditentukan berapa requaired rate of profitnya
(besarnya keuntungan yang disepakati)
2.
Unsur
– Unsur Akad Murabahah
Unsur –unsur yang terdapat dalam akad
murabahah secara umum ada tiga, yakni biaya perolehan, margin/keuntungan, dan
harga jual.
a. Biaya
Perolehan, adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan untuk memperoleh
suatu aset sampai dengan aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk
dijual atau digunakan.[4]
b. Margin/keuntungan,
Selisih antara harga jual dan harga pokok pembiayaan dengan skema jual beli
(Murabahah, Ijarah dan Salam). Margin merupakan besaran keuntungan yang menjadi
hak bank sebagai penjual atas transaksi jual beli barang yang dilakukan dan
disepakati dengan Nasabah. Besar kecilnya margin yang diperoleh dipengaruhi
oleh pokok dan jangka waktu pembiayaan.[5]
c. Harga
perolehan ditambah margin yang disepakati oleh Bank dan Nasabah yang ditetapkan
dalam kontrak akad Murabahah.
Sedangkan dalam pembiayaan murabahah terdiri
dari 3 unsur utama, yaitu pokok pinjaman, margin/keuntungan bank, dan urbun
yaitu uang muka yang dapat dibayarkan debitur. Ketiga unsur tersebut saling
melekat dan tidak dapat dipisahkan. seharusnya tidak ada unsur lain pada akad
murabahah seperti halnya provisi karena biaya tersebut seharusnya oleh bank
sudah masuk ke dalam perhitungan di dalam margin murabahah.
a. Pokok
Pinjaman, adalah besarnya pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah untuk
membeli suatu aset.
b. Margin/Keuntungan
Bank, Selisih antara harga jual dan harga pokok pembiayaan dengan skema jual
beli (Murabahah, Ijarah dan Salam). Margin merupakan besaran keuntungan yang
menjadi hak bank sebagai penjual atas transaksi jual beli barang yang dilakukan
dan disepakati dengan Nasabah. Besar kecilnya margin yang diperoleh dipengaruhi
oleh pokok dan jangka waktu pembiayaan.[6]
c. Urbun/Uang
Muka, Sejumlah uang yang boleh diminta oleh Bank kepada Nasabah sebagai tanda
kesungguhan Nasabah dalam transaksi Murabahah. Pembayaran uang muka dilakukan
sebelum transaksi Murabahah terjadi.[7]
Terdapat pula unsur tambahan yang bukan
merupakan unsur yang harus selalu ada dalam murabahah. Yakni diskon murabahah
dan potongan murabahah.
a. Diskon
Murabahah, adalah pengurangan harga atau penerimaan dalam bentuk apapun yang
dipeoleh pihak pembeli dari pemasok.[8]
b. Potongan
Murabahah, adalah pengurangan kewajiban pembeli akhir yang diberikan oleh pihak
penjual.[9]
Unsur-unsur lain yang tidak terkait
langsung dengan jual beli murabahah adalah masalah denda, jaminan, dan biaya
administrasi.
a. Sanksi/Denda
alam kenyataannya nasabah sering melakukan ingkar janji, walaupun yang bersangkutan
mempunyai kemampuan untuk membayar kewajibannya, Oleh karena itu bank syariah
dapat mengenakan denda kepada nasabah, dimana dana atas denda yang diterima
diserahkan sebagai kebajikan.
b. Jaminan
Murabahah, Jaminan merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan tersebut merupakan second way out
apabila nasabah tidak dapat menyelesaikan kewajibannya dengan cara menjual
jaminan tersebut untuk memenuhi kewajibannya
c. biaya
administratif dapat diberikan/dikenakan bank namun tidak berbentuk presentase
tertentu yg dikaitkan dengan nominal pokok pembiayaan sehingga harus dihitung
sesuai dengan biaya riil yang memang harus dikeluarkan oleh bank.
3.
Akad
Murabahah dalam Produk Perbankan Syariah
Konsep dasar operasional perbankan
syariah adalah sistem simpanan murni (al-wadiah), system bagi-hasil
(al-mudarabah dan al musyarakah), system jual beli dan marjin keuntungan ( bay’
al-murabahah dan bay’ bi saman al-ajil), system sewa, dan system upah. Walaupun
system bagi hasil merupakan karakteristik utama dan produk unggulan dalam
operasionalisai bank Islam, namun dalam perjalanannya, bay’ al-murabahah
merupakan produk yang paling banyak diminati oleh pengguna jasa bank Islam .
Padahal keabsahan bay’ al-murabahah sendiri masih menjadi bahan perdebatan
dikalangan ulama kontemporer. Antara lain menurut Abdullah Saeed, yang
menyatakan bahwa mark-up pada produk al-murabahah tidak mempunyai perbedaan
yang substansial dengan bunga pada produk financing dalam bank konvensional.
Akad bay’ al murabahah di dalam
perbankan syari’ah adalah suatu perjanjian yang disepakati antara pihak bank
dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku
atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah sebesar harga jual bank (harga
beli bank plus marjin keuntungan) pada saat jatuh tempo.
Rukun bay’ al-murabahah di dalam
perbankan pada dasarnya sama dengan rukun bay’ al-murabahah pada kitab fiqh ,
yaitu sebagai berikut:
a. Penjual
(al-Ba’I) dianalogikan sebagai bank,
b. Pembeli
(al-musytari) dianalogikan sebagai nasabah,
c. Barang
yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan,
d. Harga
(al-saman) dianalogikan sebagai pricing atau platfond pembiayaan.
e. Ijab
dan qabul, dianalogikan sebagai akad (perjanjian), yaitu pernyataan persetujuan
menyangkut barang yang diperjual belikan, harga dan ijab-qabul.
Jika menyimpulkan dari pendapat para
ulama secara umum, dapat disimpulkan bahwa hukum bay’ al murabahah adalah boleh
karena:
a. Bay’ al-murabaha bukan merupakan bay’ al-inah
yang diharamkan.
Bay’ al-inah adalah suatu akad jual beli
dimana seseoran ( penjual), menjual suatu barang kepada pembeli secara kontan,
kemudian penjual tersebut membeli kembali barang tersebut secara tempo dengan
harga yang lebih tinggi. Dalam bay’ al-inah pada hakikatnya tidak terjadi akad
jual-beli, dimana kepemilikan barang tidak mengalami pergeseran tetapi tetap
pada pemilik semula, sedangkan akad jual-beli hanya digunakan sebagai hilah
menuju akad pinjam meminajam dengan tambahan dari pokok. Sedangkan di dalam
bay’ al-murabahah pada praktek perbankan Islam, benar-benar terjadi akad jual
beli dan terjadi perpindahan status klepemilikan barang dari penjual (bank)
kepada pembeli (nasabah). sehingga sebenarnya tidak bias disamakan praktek bay’
al-murabahah pada bank Islam dengan bay’ al-inah.
b. Bay’
al-murabahah bukan merupakan jual-beli barang yang tidak ada (bay’ al-ma’dum)
Bay’ al-murabahah dalam praktek bank
Islam tidak bias disebut bay al-ma’dum, karena pihak bank menjual barang kepada
nasabah setelah barang tersebut dibeli oleh pihak bank dari supplier atau
penjual, baru kemudian dijual kepada nasabah, bahkan di dalam proses negosiasi,
jenis barang dan harganya sudah dapat diketahui dengan jelas. Demikian pula
barang tersebut jelas-jelas berada di dalam tanggungan pihak bank untuk
diadakan di kemudian hari.
c. Bay’
al-murabahah dalam praktek bank Islam bukan merupakan dua jual beli di dalam
satu jual beli , karena hanya terdapat satu harga ( harga pokok plus
keuntungan) yang harus ddibayar oleh nasabah dikemudian hari, dan tidak ada
pilihan dua harga.
d. Kritik
yang paling banyak mengenai praktek bay’ al-murabahah adalah praktek tersebut
dianggap hilah untuk mengambil riba, dan bentuk lain dari financing dalam bank
konvensional. Namun sebenarnya, pada bay’ al-murabahah, marjin keuntungan telah
disepakati di muka antara nasabah dan bank, yang kemudian disatukan dengan
harga pokok barang menjadi harga baru yang harus dibayar nasabah setelah jatuh
tempo. Dalam praktek bay’ al-murabahah ini tidak diperkenankan menaikan marjin
keuntungan setelah akad, sehingga harganya jelas dan pasti. Selain itu, nasabah
tidak mendapatkan uang tunai tetapi barang yang dibutuhkan. Dengan demikian
bay’al-murabahah berbeda dengan financing yang menggunakan system bunga.
B.
Fatwa
DSN Tentang Murabahah
Secara
formal yuridis, hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri tentang Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945,
umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan atas dasar keyakinan agama
mereka. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan nasional sudah tampak
undang-undang yang mengatur tentang berlakunya Hukum Perikatan Islam, seperti
UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga dalam produk legislasi
nasional pun Hukum Perikatan Islam sudah diakui dan dapat dipraktikan.
Regulasi tentang penggunaan akad
murabahah dalam produk perbankan syariah diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 19 ayat (1)
mengenai ketentuan umum dalam kegiatan usaha Bank Umum Syariah point d dan i,
sebagai berikut:
“d.
menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.”
“i.
membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara
lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
hawalah.”
Prinsip syariah yang dimaksud dalam
ketentuan tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syariah.[10]
Sehingga wajib hukumnya bagi lembaga keuangan syariah untuk menjalankan kegiatannya
sesuai dengan Fatwa DSN MUI.
Begitupun dengan prinsip syariah
dmengenai penggunaan akad murabahah (pembiayaan murabahah khususnya) ini tertuang dalam Fatwa
DSN sebagai berikut :
1. Fatwa
DSN No. 04/DSN- MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
2. Fatwa
DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah.
3. Fatwa
DSN No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah
4. Fatwa
DSN No. 17/DSN-MUI/IV/2000 tentang sanksi atas nsanah yang mampu menunda-nunda
pembayaran
5. Fatwa
DSN No. 23/DSN-MUI/III/2003 tentang potongan pelunasan
6. Fatwa
DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi (ta’widh)
7. FatwaDSN
No. 45/DSN-MUI/II/2005 tentang line facility
8. Fatwa
DSN No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan tagiahan murabahah
9. Fatwa
DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutabf murabahaha bagi nasabah
yang tidak mampu bayar
10. Fatwa
DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabhah.
11. Fatwa
DSN No. 49/DSN-MUI/II/ tentang konversi akad murabahah.
Dalam fatwa-fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum
mengenai murabahah, yaitu sebagai berikut:
1. Bank
dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang
diperjual belikan tidak
diharamkan oleh syari’at Islam.
3. Bank membiayai
sebagian atau seluruh
harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli
barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus
sah dan bebas riba.
5. Bank harus
menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan
secara utang.
6. Bank kemudian
menjual barang tersebut
kepada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga plus keuntungannya. Dalam
kaitan ini bank
harus memberitahu secara jujur
harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar
harga barang yang
telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan atau
kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
9. Jika bank
hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang kepada pihak
ketiga, akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip menjadi
milik bank.
Aturan
yang dikenakan kepada
nasabah dalam murabahah ini
dalam fatwa adalah sebagai berikut:
1. Nasabah mengajukan
permohonan dan perjanjian
pembelian suatu barang atau asset
kepada bank.
2. Jika bank
menerima permohonan tersebut
ia harus membeli terlebih dahulu
assetyang dipesannya secara sah
dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan asset
tersebut kepada nasabah
dan nasabah harus menerima
(membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakatinya, karena secara
hukum perjanjian tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual
beli ini bank
dibolehkan meminta nasabah
untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan
awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari
uang muka tersebut.
6. Jika nilai
uang muka kurang
dari kerugian yang
harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
Jika
uang muka memakai
kontrak ‘urbun sebagai
alternatif dari uang muka, maka:
1. jika nasabah
memutuskan untuk membeli barang
tersebut, ia tinggal membayar sisa
harga; atau
2. jika nasabah
batal membeli, uang muka menjadi
milik bank maksimal sebesar kerugian yang
ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang
muka tidak mencukupi,
nasabah wajib melunasi kekurangannya. (Widyaningsih,2005:106)
C.
Praktik
Perikatan dalam Akad Murabahah
Sebagai suatu hal yang esensial, perjanjian
atau akad yang telah disepakati akan melahirkan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Maka, penyusunan suatu akad perbankan syariah haruslah memuat berbagai
asas hukum Islam serta mengindahkan berbagai larangan agar hak dan kewajiban para
pihak terpenuhi secara sempurna.
Dalam praktiknya, pengikatan akad pembiayaan
dan agunan dilakukan oleh notaris apabila menurut Bank pengikatan harus
menggunakan Notaris. Dimana standar kontrak perjanjian murabahahnya telah
diatur dalam Buku Standar Produk Murabahah oleh OJK pada bab 10.2. tentang
ketentuan umum standar perjanjian.
Standar kontrak perjanjian yang disusun
dalam Buku standar produk murabahah tersebut hanya memberikan panduan minimum terkait
klausul-klausul yang harus tertera dalam kontrak perjanjian Pembiayaan Murabahah
yang akan disepakati oleh para pihak yang berikat, Bank dan Nasabah. Pihak Bank
serta Nasabah tetap boleh dan diizinkan untuk membuat perjanjian sesuai dengan
asas kebebasan berkontrak (al hurriyah), namun dengan tetap mematuhi ketentuan
pokok yang telah ditetapkan demi melindungi kepentingan pemenuhan prinsip
syariah, legal positif dan perlindungan konsumen.[11]
Sedangkan erdasarkan fikih. dalam
Penyusunan naskah perjanjian murabahah ada beberapa persyaratan yang harus
terpenuhi, yakni[12] :
1.
Menggunakan
judul dengan mencantumkan kata ‘murabahah’
2.
Menyebutkan hari
dan tanggal akad dilakukan.
3.
Menyebutkan
pihak yang bertransaaksi dan/atau yang mewakiliny.
4.
Menetapkan bank
sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
5.
Menetapkan harga
beli, harga jual, dan tingkat keuntungan.
6.
Menetapkan jenis
dan ukuran barang yang akan dibeli oleh nasabah.
7.
Menetapkan jangka waktu dan cara mebayar.
8.
Menetapkam waktu
pengiriman barang yang dibeli.
9.
Menetapkan bahwa
nasabah adalah pihak yang berutang apabila pembayaran tidak tunai.
10.
Menetapkan
sanksi bagi nasabah apabila lalai membayar pada waktunya.
11.
Menetapkan
tindakan yang dilakukan apabila terjadi force majeur.
12.
Menetapkan
jaminan (tambahan) apabila diperlukan.
13.
Menetapkan
saksi-saksi apabila diperlukan.
14.
Menetapkan badan
arbitrasse syariah sebagai tempat penyelesaian apabila terjadi sengketa.
15.
Ditandatangani
oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Murabahah adalah akad jual beli
barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati yang
oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural
certainty contract (yakni memberikan kepastian pembiayaan baik dari segi jumlah
maupun waktu, cash flownya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah
disepakati oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi di awal akad). Dikategorikan sebagai natural certainty contract
karena dalam Murabahah ditentukan berapa requaired rate of profitnya (besarnya
keuntungan yang disepakati).
Dalam pembiayaan murabahah terdiri
dari 3 unsur utama, yaitu pokok pinjaman, margin/keuntungan bank, dan urbun
yaitu uang muka yang dapat dibayarkan debitur. Ketiga unsur tersebut saling
melekat dan tidak dapat dipisahkan.
Pengikatan akad pembiayaan dan
agunan dilakukan oleh notaris apabila menurut Bank pengikatan harus menggunakan
Notaris yang dimana standar kontrak perjanjian murabahahnya telah diatur dalam
Buku Standar Produk Murabahah oleh OJK pada bab 10.
[1]
Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011),
hlm. 225
[2]
Ibid, hlm. 226
[3]
Ibid, hlm. 226
[4]
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan Syariah (BAB Akuntansi
Murabahah), (Jakarta : IAI, 2014), hlm 102.1
[5]
Dept. Perbankan Syariah OJK, buku Standar Produk Murabahah, (Jakarta: OJK,
2016) hlm. 17
[6]
Ibid, hlm 17
[7]
Ibid, hlm 17
[8]
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan Syariah (BAB Akuntansi Murabahah),
(Jakarta : IAI, 2014), hlm. 102.1
[9]
Ibid, hlm. 102.2
[10]
UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syarih Pasal 1 ayat 12
[11]
Dept. Perbankan Syariah OJK, buku Standar Produk Murabahah, (Jakarta: OJK,
2016) hlm. 86,87.
[12]
Ascarya, akad& produk bank syariah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2007), hlm. 89.
Best casino games online | DrMCD
BalasHapusYou are sure to have played 밀양 출장마사지 a part in all your favourite 포항 출장샵 casino games! Experience 충청남도 출장마사지 a casino with more than 1500 양산 출장안마 titles and bonuses from Microgaming, Rating: 4.6 영주 출장마사지 · 6 votes