Senin, 16 Januari 2017

AKAD MURABAHAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Lahirnya beberapa institusi syari’ah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dan mu’amalat Islam, serta semakin berkembangnya bisnis umat Islam yang diiringi munculnya keinginan untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang orisinal, menjadikan perlu dan pentingnya untuk melakukan akad/perikatan yang diakui dan dilindungi oleh hukum di Indonesia. Walaupun secara formal yuridis hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri tentang Hukum Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan atas dasar keyakinan agama mereka. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan nasional sudah tampak undang-undang yang mengatur tentang berlakunya Hukum Perikatan Islam, seperti UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga dalam produk legislasi nasional pun Hukum Perikatan Islam sudah diakui dan dapat dipraktikan.
Salah satu akad yang banyak digunakan didalam lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah adalah akad murabahah yang merupakan salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka. Maka dengan begitu perlu kita pahami bagaimana praktik perikatan dalam akad murabahah yang diterapkan dalam lembaga keuangan syariah.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud dengan akad murabahah ?
  2. Bagaimana penjelasan mengenai fatwa DSN tentang murabahah ?
  3. Bagaimanakah praktik perikatan dalam akad murabahah ?
C.    Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian dan unsur-unsur akad murabahah.
  2. Untuk mengetahui penjelasan mengenai fatwa DSN tentang murabahah.
  3. Untuk mengetahui bagaimana praktik perikatan dalam akad murabahah.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penjelasan Tentang Akad Murabahah
1.      Pengertian Akad Murabahah
Al Murabahah berasal dari bahasa Arab al-ribh (keuntungan). Ia dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata) mufa’alat yang mengandunng arti saling. Oleh karenanya, sescara bahasa ia salingmemberi keuntungan. Secara terminologi, ia diartikan dan didefinisikan dengan redaksi yang variatif. Ahmad al Syaisy al Qaffal mengatakan, al murabahah adalah tambahan modal. Bagi al-Sayid Sabiq, murabahah ialah penjualan barang seharga pembelian disertai dengan keuntungan yang diberikan oleh pembeli, artinya ada tambahan harga dari nilai harga beli. Sementara menurut al-Syairazi, murabahah ialah penjualan dimana penjual memberitahukan kepada pembeli harga pembeliannya, dan ia meminta keuntungan kepada pembeli berdasarkan kwesepakatan antara keduannya. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, al murabahah ialah penjualan dengan harga yang sama dengan modal dsisertai tambahan keuntungan.[1]
            Berdasarkan definisi diatas tampak bahwa secara substansi al murabahah dikalangan ulama adalah sama meskipu diformulasikan dengan resaksi yang berbeda. Hal ini mengilhami DSN-MUI sehingga menawarkan definisi al murabahah dengamn, “menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarhnya dengan harga yang lebih sebagai  laba. Pengertian ini senada dengan yang ditetapkan oleh penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf d UU No. 21 tahun 2008 meskipun frase “...sebagai laba” dalam fatwa, diganti dengan frase “... sebagia keuntungan yang disepakati”.[2]
            Dari beragam definisi ini dapat ditarik benang merah, bahwa keuntungan adalah perbedaan nilai benda yang diberikan dengan nilai benda yang diperoleh. Disamping itu, dalam akad murabahah terdapat beberapa unsur seperti; transparansi dan kejujuran sehingga melahirkan saling percaya antara penjual dan pembeli; akad ini lebih tampak pada jual beli barang yang memiliki standar yang jels seperti sepeda motor, adanya keuntungan sebagai tamabahan atas dasar kesepakatan; dan dilakukan dengan tunai.[3]
Kesimpulannya, Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati yang oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract (yakni memberikan kepastian pembiayaan baik dari segi jumlah maupun waktu, cash flownya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak  yang bertransaksi di awal akad). Dikategorikan sebagai natural certainty contract karena dalam Murabahah ditentukan berapa requaired rate of profitnya (besarnya keuntungan yang disepakati)
2.      Unsur – Unsur Akad Murabahah
Unsur –unsur yang terdapat dalam akad murabahah secara umum ada tiga, yakni biaya perolehan, margin/keuntungan, dan harga jual.
a.       Biaya Perolehan, adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan untuk memperoleh suatu aset sampai dengan aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau digunakan.[4]
b.      Margin/keuntungan, Selisih antara harga jual dan harga pokok pembiayaan dengan skema jual beli (Murabahah, Ijarah dan Salam). Margin merupakan besaran keuntungan yang menjadi hak bank sebagai penjual atas transaksi jual beli barang yang dilakukan dan disepakati dengan Nasabah. Besar kecilnya margin yang diperoleh dipengaruhi oleh pokok dan jangka waktu pembiayaan.[5]
c.       Harga perolehan ditambah margin yang disepakati oleh Bank dan Nasabah yang ditetapkan dalam kontrak akad Murabahah.
Sedangkan dalam pembiayaan murabahah terdiri dari 3 unsur utama, yaitu pokok pinjaman, margin/keuntungan bank, dan urbun yaitu uang muka yang dapat dibayarkan debitur. Ketiga unsur tersebut saling melekat dan tidak dapat dipisahkan. seharusnya tidak ada unsur lain pada akad murabahah seperti halnya provisi karena biaya tersebut seharusnya oleh bank sudah masuk ke dalam perhitungan di dalam margin murabahah.
a.       Pokok Pinjaman, adalah besarnya pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah untuk membeli suatu aset.
b.      Margin/Keuntungan Bank, Selisih antara harga jual dan harga pokok pembiayaan dengan skema jual beli (Murabahah, Ijarah dan Salam). Margin merupakan besaran keuntungan yang menjadi hak bank sebagai penjual atas transaksi jual beli barang yang dilakukan dan disepakati dengan Nasabah. Besar kecilnya margin yang diperoleh dipengaruhi oleh pokok dan jangka waktu pembiayaan.[6]
c.       Urbun/Uang Muka, Sejumlah uang yang boleh diminta oleh Bank kepada Nasabah sebagai tanda kesungguhan Nasabah dalam transaksi Murabahah. Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi Murabahah terjadi.[7]
Terdapat pula unsur tambahan yang bukan merupakan unsur yang harus selalu ada dalam murabahah. Yakni diskon murabahah dan potongan murabahah.
a.       Diskon Murabahah, adalah pengurangan harga atau penerimaan dalam bentuk apapun yang dipeoleh pihak pembeli dari pemasok.[8]
b.       Potongan Murabahah, adalah pengurangan kewajiban pembeli akhir yang diberikan oleh pihak penjual.[9]
Unsur-unsur lain yang tidak terkait langsung dengan jual beli murabahah adalah masalah denda, jaminan, dan biaya administrasi.
a.       Sanksi/Denda alam kenyataannya nasabah sering melakukan ingkar janji, walaupun yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk membayar kewajibannya, Oleh karena itu bank syariah dapat mengenakan denda kepada nasabah, dimana dana atas denda yang diterima diserahkan sebagai kebajikan.
b.      Jaminan Murabahah, Jaminan merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan tersebut merupakan second way out apabila nasabah tidak dapat menyelesaikan kewajibannya dengan cara menjual jaminan tersebut untuk memenuhi kewajibannya
c.       biaya administratif dapat diberikan/dikenakan bank namun tidak berbentuk presentase tertentu yg dikaitkan dengan nominal pokok pembiayaan sehingga harus dihitung sesuai dengan biaya riil yang memang harus dikeluarkan oleh bank.
3.      Akad Murabahah dalam Produk Perbankan Syariah
Konsep dasar operasional perbankan syariah adalah sistem simpanan murni (al-wadiah), system bagi-hasil (al-mudarabah dan al musyarakah), system jual beli dan marjin keuntungan ( bay’ al-murabahah dan bay’ bi saman al-ajil), system sewa, dan system upah. Walaupun system bagi hasil merupakan karakteristik utama dan produk unggulan dalam operasionalisai bank Islam, namun dalam perjalanannya, bay’ al-murabahah merupakan produk yang paling banyak diminati oleh pengguna jasa bank Islam . Padahal keabsahan bay’ al-murabahah sendiri masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama kontemporer. Antara lain menurut Abdullah Saeed, yang menyatakan bahwa mark-up pada produk al-murabahah tidak mempunyai perbedaan yang substansial dengan bunga pada produk financing dalam bank konvensional.
Akad bay’ al murabahah di dalam perbankan syari’ah adalah suatu perjanjian yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus marjin keuntungan) pada saat jatuh tempo.
Rukun bay’ al-murabahah di dalam perbankan pada dasarnya sama dengan rukun bay’ al-murabahah pada kitab fiqh , yaitu sebagai berikut:
a.       Penjual (al-Ba’I) dianalogikan sebagai bank,
b.      Pembeli (al-musytari) dianalogikan sebagai nasabah,
c.       Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan,
d.      Harga (al-saman) dianalogikan sebagai pricing atau platfond pembiayaan.
e.       Ijab dan qabul, dianalogikan sebagai akad (perjanjian), yaitu pernyataan persetujuan menyangkut barang yang diperjual belikan, harga dan ijab-qabul.
Jika menyimpulkan dari pendapat para ulama secara umum, dapat disimpulkan bahwa hukum bay’ al murabahah adalah boleh karena:
a.        Bay’ al-murabaha bukan merupakan bay’ al-inah yang diharamkan.
Bay’ al-inah adalah suatu akad jual beli dimana seseoran ( penjual), menjual suatu barang kepada pembeli secara kontan, kemudian penjual tersebut membeli kembali barang tersebut secara tempo dengan harga yang lebih tinggi. Dalam bay’ al-inah pada hakikatnya tidak terjadi akad jual-beli, dimana kepemilikan barang tidak mengalami pergeseran tetapi tetap pada pemilik semula, sedangkan akad jual-beli hanya digunakan sebagai hilah menuju akad pinjam meminajam dengan tambahan dari pokok. Sedangkan di dalam bay’ al-murabahah pada praktek perbankan Islam, benar-benar terjadi akad jual beli dan terjadi perpindahan status klepemilikan barang dari penjual (bank) kepada pembeli (nasabah). sehingga sebenarnya tidak bias disamakan praktek bay’ al-murabahah pada bank Islam dengan bay’ al-inah.
b.      Bay’ al-murabahah bukan merupakan jual-beli barang yang tidak ada (bay’ al-ma’dum)
Bay’ al-murabahah dalam praktek bank Islam tidak bias disebut bay al-ma’dum, karena pihak bank menjual barang kepada nasabah setelah barang tersebut dibeli oleh pihak bank dari supplier atau penjual, baru kemudian dijual kepada nasabah, bahkan di dalam proses negosiasi, jenis barang dan harganya sudah dapat diketahui dengan jelas. Demikian pula barang tersebut jelas-jelas berada di dalam tanggungan pihak bank untuk diadakan di kemudian hari.
c.       Bay’ al-murabahah dalam praktek bank Islam bukan merupakan dua jual beli di dalam satu jual beli , karena hanya terdapat satu harga ( harga pokok plus keuntungan) yang harus ddibayar oleh nasabah dikemudian hari, dan tidak ada pilihan dua harga.
d.      Kritik yang paling banyak mengenai praktek bay’ al-murabahah adalah praktek tersebut dianggap hilah untuk mengambil riba, dan bentuk lain dari financing dalam bank konvensional. Namun sebenarnya, pada bay’ al-murabahah, marjin keuntungan telah disepakati di muka antara nasabah dan bank, yang kemudian disatukan dengan harga pokok barang menjadi harga baru yang harus dibayar nasabah setelah jatuh tempo. Dalam praktek bay’ al-murabahah ini tidak diperkenankan menaikan marjin keuntungan setelah akad, sehingga harganya jelas dan pasti. Selain itu, nasabah tidak mendapatkan uang tunai tetapi barang yang dibutuhkan. Dengan demikian bay’al-murabahah berbeda dengan financing yang menggunakan system bunga.

B.     Fatwa DSN Tentang Murabahah
Secara formal yuridis, hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri tentang Hukum Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan atas dasar keyakinan agama mereka. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan nasional sudah tampak undang-undang yang mengatur tentang berlakunya Hukum Perikatan Islam, seperti UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga dalam produk legislasi nasional pun Hukum Perikatan Islam sudah diakui dan dapat dipraktikan.
Regulasi tentang penggunaan akad murabahah dalam produk perbankan syariah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 19 ayat (1) mengenai ketentuan umum dalam kegiatan usaha Bank Umum Syariah point d dan i, sebagai berikut:
“d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.”
“i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah.”
Prinsip syariah yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[10] Sehingga wajib hukumnya bagi lembaga keuangan syariah untuk menjalankan kegiatannya sesuai dengan Fatwa DSN MUI.
Begitupun dengan prinsip syariah dmengenai penggunaan akad murabahah (pembiayaan murabahah khususnya)  ini tertuang dalam  Fatwa  DSN  sebagai berikut :
1.      Fatwa DSN No. 04/DSN- MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
2.      Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah.
3.      Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah
4.      Fatwa DSN No. 17/DSN-MUI/IV/2000 tentang sanksi atas nsanah yang mampu menunda-nunda pembayaran
5.      Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2003 tentang potongan pelunasan
6.      Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi (ta’widh)
7.      FatwaDSN No. 45/DSN-MUI/II/2005 tentang line facility
8.      Fatwa DSN No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan tagiahan murabahah
9.      Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutabf murabahaha bagi nasabah yang tidak mampu bayar
10.  Fatwa DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabhah.
11.  Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/ tentang konversi akad murabahah.
Dalam fatwa-fatwa tersebut  disebutkan ketentuan  umum  mengenai murabahah, yaitu sebagai berikut:
1.      Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2.      Barang  yang  diperjual  belikan  tidak  diharamkan  oleh  syari’at Islam.
3.      Bank  membiayai  sebagian  atau  seluruh  harga  pembelian barang  yang  telah disepakati kualifikasinya. 
4.      Bank  membeli  barang  yang  diperlukan  nasabah  atas  nama bank  sendiri,  dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.      Bank  harus  menyampaikan  semua  hal  yang  berkaitan dengan  pembelian, misalnya  jika pembelian  dilakukan  secara utang.
6.      Bank  kemudian  menjual  barang  tersebut  kepada  nasabah (pemesan)  dengan harga  jual senilai  harga  plus keuntungannya.  Dalam  kaitan  ini  bank  harus memberitahu secara  jujur harga  pokok  barang  kepada  nasabah  berikut biaya yang diperlukan.
7.      Nasabah  membayar  harga  barang  yang  telah  disepakati tersebut  pada  jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8.      Untuk mencegah  terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.      Jika  bank  hendak  mewakilkan  kepada  nasabah  untuk  membeli barang  kepada pihak  ketiga,  akad  jual  beli  murabahah  harus dilakukan  setelah  barang,  secara prinsip menjadi milik bank. 
Aturan  yang  dikenakan  kepada  nasabah  dalam  murabahah ini  dalam fatwa adalah sebagai berikut:
1.      Nasabah  mengajukan  permohonan  dan  perjanjian  pembelian suatu barang  atau asset kepada bank.
2.      Jika  bank  menerima  permohonan  tersebut  ia  harus  membeli terlebih  dahulu  assetyang dipesannya  secara  sah  dengan pedagang.
3.      Bank  kemudian menawarkan  asset  tersebut  kepada  nasabah  dan nasabah  harus menerima (membeli)-nya  sesuai  dengan perjanjian  yang  telah  disepakatinya, karena  secara  hukum perjanjian  tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4.      Dalam  jual  beli  ini  bank  dibolehkan  meminta  nasabah  untuk membayar  uang muka  saat menandatangani  kesepakatan  awal pemesanan.
5.      Jika  nasabah kemudian menolak membeli barang  tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.      Jika  nilai  uang  muka  kurang  dari  kerugian  yang  harus ditanggung  oleh  bank, bank  dapat meminta  kembali  sisa kerugiannya kepada nasabah.
Jika  uang  muka  memakai  kontrak  ‘urbun  sebagai  alternatif dari  uang  muka, maka:
1.      jika  nasabah  memutuskan  untuk membeli  barang  tersebut,  ia  tinggal membayar  sisa  harga; atau
2.      jika  nasabah  batal membeli,  uang muka menjadi milik  bank maksimal  sebesar kerugian  yang  ditanggung  oleh  bank akibat pembatalan  tersebut;  dan  jika  uang  muka tidak mencukupi,  nasabah  wajib melunasi  kekurangannya. (Widyaningsih,2005:106)

C.    Praktik Perikatan dalam Akad Murabahah
Sebagai suatu hal yang esensial, perjanjian atau akad yang telah disepakati akan melahirkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Maka, penyusunan suatu akad perbankan syariah haruslah memuat berbagai asas hukum Islam serta mengindahkan berbagai larangan agar hak dan kewajiban para pihak terpenuhi secara sempurna.
Dalam praktiknya, pengikatan akad pembiayaan dan agunan dilakukan oleh notaris apabila menurut Bank pengikatan harus menggunakan Notaris. Dimana standar kontrak perjanjian murabahahnya telah diatur dalam Buku Standar Produk Murabahah oleh OJK pada bab 10.2. tentang ketentuan umum standar perjanjian.
Standar kontrak perjanjian yang disusun dalam Buku standar produk murabahah tersebut hanya memberikan panduan minimum terkait klausul-klausul yang harus tertera dalam kontrak perjanjian Pembiayaan Murabahah yang akan disepakati oleh para pihak yang berikat, Bank dan Nasabah. Pihak Bank serta Nasabah tetap boleh dan diizinkan untuk membuat perjanjian sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (al hurriyah), namun dengan tetap mematuhi ketentuan pokok yang telah ditetapkan demi melindungi kepentingan pemenuhan prinsip syariah, legal positif dan perlindungan konsumen.[11]
Sedangkan erdasarkan fikih. dalam Penyusunan naskah perjanjian murabahah ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi, yakni[12] :
1.      Menggunakan judul dengan mencantumkan kata ‘murabahah’
2.      Menyebutkan hari dan tanggal akad dilakukan.
3.      Menyebutkan pihak yang bertransaaksi dan/atau yang mewakiliny.
4.      Menetapkan bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
5.      Menetapkan harga beli, harga jual, dan tingkat keuntungan.
6.      Menetapkan jenis dan ukuran barang yang akan dibeli oleh nasabah.
7.       Menetapkan jangka waktu dan cara mebayar.
8.      Menetapkam waktu pengiriman barang yang dibeli.
9.      Menetapkan bahwa nasabah adalah pihak yang berutang apabila pembayaran tidak tunai.
10.  Menetapkan sanksi bagi nasabah apabila lalai membayar pada waktunya.
11.  Menetapkan tindakan yang dilakukan apabila terjadi force majeur.
12.  Menetapkan jaminan (tambahan) apabila diperlukan.
13.  Menetapkan saksi-saksi apabila diperlukan.
14.  Menetapkan badan arbitrasse syariah sebagai tempat penyelesaian apabila terjadi sengketa.
15.  Ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.









BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati yang oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract (yakni memberikan kepastian pembiayaan baik dari segi jumlah maupun waktu, cash flownya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak  yang bertransaksi di awal akad). Dikategorikan sebagai natural certainty contract karena dalam Murabahah ditentukan berapa requaired rate of profitnya (besarnya keuntungan yang disepakati).
            Dalam pembiayaan murabahah terdiri dari 3 unsur utama, yaitu pokok pinjaman, margin/keuntungan bank, dan urbun yaitu uang muka yang dapat dibayarkan debitur. Ketiga unsur tersebut saling melekat dan tidak dapat dipisahkan.
            Pengikatan akad pembiayaan dan agunan dilakukan oleh notaris apabila menurut Bank pengikatan harus menggunakan Notaris yang dimana standar kontrak perjanjian murabahahnya telah diatur dalam Buku Standar Produk Murabahah oleh OJK pada bab 10.










[1] Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm. 225
[2] Ibid, hlm. 226
[3] Ibid, hlm. 226
[4] Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan Syariah (BAB Akuntansi Murabahah), (Jakarta : IAI, 2014), hlm 102.1
[5] Dept. Perbankan Syariah OJK, buku Standar Produk Murabahah, (Jakarta: OJK, 2016) hlm. 17
[6] Ibid, hlm 17
[7] Ibid, hlm 17
[8] Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan Syariah (BAB Akuntansi Murabahah), (Jakarta : IAI, 2014), hlm. 102.1
[9] Ibid, hlm. 102.2
[10] UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syarih Pasal 1 ayat 12
[11] Dept. Perbankan Syariah OJK, buku Standar Produk Murabahah, (Jakarta: OJK, 2016) hlm. 86,87.
[12] Ascarya, akad& produk bank syariah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 89.

1 komentar:

  1. Best casino games online | DrMCD
    You are sure to have played 밀양 출장마사지 a part in all your favourite 포항 출장샵 casino games! Experience 충청남도 출장마사지 a casino with more than 1500 양산 출장안마 titles and bonuses from Microgaming,  Rating: 4.6 영주 출장마사지 · ‎6 votes

    BalasHapus